BEKASI, KOMPAS.com - Jemaat Gereja Katolik Paroki Santa Clara, Bekasi Utara, akan merayakan Natal perdana di gereja pada tahun ini.
Kesempatan ini terasa istimewa karena selama 20 tahun, mereka beribadah di Kapel Asri yang bertempat di sebuah ruko. Pendirian gereja mereka tak berjalan mulus.
Gereja Santa Clara sebetulnya sudah memperoleh izin mendirikan bangunan (IMB) sejak 2015 lalu. Namun, dalam perjalanannya, IMB itu dipermasalahkan sebagian warga.
Warga tidak setuju gereja didirikan di kawasan yang penghuninya mayoritas beragama Islam.
Namun, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi pasang badan dengan tidak mencabut IMB itu sehingga pembangunan gereja tersebut bisa dilakukan.
Agustus 2019, Gereja Santa Clara diresmikan oleh Rahmat, disaksikan Uskup Agung Jakarta saat itu Ignasius Suharyo yang kini telah dilantik menjadi Kardinal Vatikan oleh Paus Franskiskus.
Pastor Paroki Gereja Santa Clara, Raymundus Sianipar tak mampu menyembunyikan rasa syukurnya karena jemaatnya kini dapat merayakan Natal dengan leluasa. Mereka, kata Raymundus, begitu antusias.
"Antusias umat luar biasa, karena selama ini natalnya di bangunan yang hanya ruko kecil, dengan tempat yang sangat terbatas, fasilitas juga sangat terbatas," ujar Raymundus, Kamis (19/12/2019) petang.
"Bayangkan, selama 20 tahun Natal di sana dengan segala keterbatasannya, walaupun tanpa mengurangi semangatnya," imbuhnya.
Natal esok, akan ada 9.000 jemaat Paroki Santa Clara yang mustahil ditampung di Kapel Asri yang berupa ruko. Karena, satu-satunya gereja Katolik di Bekasi Utara ini hanya mampu menampung sekitar 1.500 jemaat.
"Gereja ini sangat ramai, Senin sampai Minggu selalu ramai di gereja ini. Bukan hanya Natal ini saja. Maka memang, kita butuh tempat yang baik untuk berkumpul," ujar Raymundus.
Lomba pohon natal ramah lingkungan
Selama 20 tahun, jemaat Santa Clara tak bisa Natalan secara leluasa. Bukan hanya ibadah Natal yang tak leluasa, pelbagai kegiatan jemaat buat memeriahkan hari kelahiran Yesus Kristus terpaksa dipangkas karena minimnya ruang.
"Banyak yang tidak bisa dilakukan ketika dulu hanya 3 ruko dan hanya bisa menampung 150 orang. Kita ibadah bisa 4 kali dan sampai memakan jalanan yang berada di sana," jelas Raymundus.
"Bayangkan kalau hujan, kadang-kadang umat sebagian harus pergi ke gereja tetangga karena memang tidak bisa menampung," lanjutnya.
Sekadar lomba menyongsong Natal pun tak pernah terlaksana. Mereka menggantinya dengan sekadar bikin tumpeng atau menghelat lomba-lomba kecil untuk anak-anak seperti mewarnai di rumah, lalu hasilnya dikirim ke gereja.
"Banyak kegiatan kita tidak punya tempat. Kita jadi membatasi kegiatan karena keterbatasan waktu dan juga tempat. Tidak pernah lomba, karena pasti penuh di dalam dan tidak ada tempatnya," tutur Raymundus.
Jelang Natal 2019, jemaat Santa Clara untuk pertama kalinya akhirnya menyelenggarakan lomba antarjemaat.
Sebanyak 13 kelompok jemaat Santa Clara berdasarkan domisili bertanding membuat pohon Natal setinggi 3 meter. Mereka diberi waktu satu pekan untuk menuntaskan kerja kolektif itu, sejak tanggal 15 hingga 22 Desember 2019 nanti.
Uniknya, pohon Natal itu harus dibuat dengan bahan-bahan daur ulang. Sebagian besar pohon yang sudah jadi tampak menggunakan kantong dan botol plastik, beberapa lainnya memakai keranjang telur.
"Yang mau disampaikan dengan bahan-bahan ini tentunya pesan ramah lingkungan. Umat gereja ini adalah umat yang nantinya harus ramah lingkungan," sebut Raymundus.
Lomba ini jadi penting karena ia merupakan wadah antusiasme jemaat Santa Clara yang baru tahun ini kesampaian Natalan di gereja.
Miniatur masjid
Lomba ini sekaligus jadi medium gotong-royong para jemaat yang sempat terpencar beberapa tahun silam. Sebabnya sama, karena tak punya gereja.
Tak heran, persatuan kembali para jemaat Santa Clara merupakan keadaan yang ingin direngkuh kembali pada Natal edisi kali ini.
"Kami menginginkan semua umat ini terlibat dalam gotong-royong, apalagi ini gereja baru. Jadi dari gotong royong itulah terbentuk pohon Natal bersama," ujar Ketua Panitia Lomba Natal 2019 Santa Clara, Eni Widyastuti kepada wartawan, Kamis sore.
"Gotong-royong tidak harus secara finansial, tapi juga bisa secara tenaga dan pikiran," kata dia.
Istimewanya, bukan hanya persatuan antarjemaat Santa Clara yang diutamakan. Pesan persatuan bangsa juga ada dalam lomba pohon Natal ini.
Ada miniatur masjid di salah satu kaki pohon Natal bikinan jemaat. Miniatur masjid itu berwarna putih dengan kombinasi hitam-kuning.
Ia berbahan kardus dan kertas, sebagai bagian dari tema "ramah lingkungan" yang diusung. Miniatur masjid ini bersanding dengan miniatur pura, pernak-pernik logo Kota Bekasi, Garuda Pancasila, serta bendera merah-putih yang menggantung di daun-daunnya yang terbuat dari botol plastik.
"Itu (miniatur masjid) artinya menonjolkan kearifan lokal bahwa sekarang, di area Santa Clara ini, toleransi sudah terbentuk dari berbagai macam latar belakang. Kebhinekaan untuk NKRI," ujar Eni.
Unsur muatan lokal menjadi salah satu unsur yang harus ada dalam pohon Natal bikinan para jemaat. Pohon Natal itu pun harus punya pesan yang kuat.
"Karena selain harus dari barang bekas, kreatif, dan indah, harus juga menyampaikan pesan dan ada muatan lokalnya," imbuhnya.
Eni bilang, para jemaat bebas berkreasi menerjemahkan "muatan lokal" dan menyampaikan pesan lewat kreasi pohon Natalnya.
Buktinya, ada jemaat yang menyematkan ondel-ondel hingga miniatur bambu khas Kota Bekasi dalam pohon Natal.
"Itu sebenarnya yang kita inginkan. Selama ini, mungkin karena belum punya gereja, jadi agak terbelah. Sekarang sudah ada gereja, kita galang lagi persatuan," ujar Eni.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/12/20/06012691/rasa-syukur-jemaat-santa-clara-bekasi-rayakan-natal-pertama-di-gereja