Tulisan yang diunggah pada Senin (28/6/2021) tersebut mengisahkan keadaan pasien yang terpaksa harus mengantre di rumah sakit rujukan Covid-19.
Memulai tulisan dengan kalimat tanya "Berapa lama lagi saya bisa hidup, Dok?", Agnes yang bekerja di dua rumah sakit di Jakarta ini mencurahkan keprihatinannya terhadap kondisi yang harus dihadapi para pasien.
Saat dikonfirmasi Kompas.com, Agnes menyatakan bahwa tulisan tersebut menggambarkan kondisi rumah sakit belakangan ini.
"Tulisan itu menggambarkan kejadian beberapa hari lalu, ketika ruang rawat inap sudah dipenuhi pasien Covid-19 dewasa, sementara IGD terus bertambah penuh. Mencari rujukan rumah sakit pun sudah bagai mencari jarum dalam jerami. Susahnya setengah mati," kata Agnes saat dihubungi, Selasa (29/6/2021).
Dalam tulisannya, Agnes bercerita tentang kondisi pasien Covid-19 yang sudah sesak napas, tapi terpaksa masuk dalam daftar tunggu untuk dikirim ke RS rujukan.
Pasien ini ibarat menghadapi "antrean kematian" karena entah kapan bisa mendapat RS rujukan, sedangkan kondisi peralatan dan obat di RS kecil terbatas. Kalau terjadi perburukan, tidak ada lagi yang bisa dilakukan.
"Jadi saya bisa bertahan berapa lama lagi dok kalau saya enggak dapat-dapat rujukan? Kalau saya enggak dapat HCU atau ICU?" tanya seorang pasien yang sudah sesak berat kepada dokter jaga IGD, seperti dituliskannya.
"Dokter mana yang tidak tercekat dengan pertanyaan itu?" tulis Agnes merujuk pada pertanyaan tersebut.
Agnes kemudian menceritakan antrean pasien di rumah sakit kecilnya itu ada sembilan orang pada hari itu. Namun, di rumah sakit besar, antrean bisa mencapai 30-50 pasien.
Keadaan buruk tidak berakhir di situ.
Menurut dia, bahkan semua pasien sesak karena Covid-19 yang mengantre di rumah sakit tempatnya bekerja, terpaksa diberi pilihan untuk menandatangani do not resuscitate (DNR).
DNR merupakan suatu tindakan spesifik untuk tidak memberikan resusitasi jantung paru pada pasien, tetapi tetap melakukan perawatan rutin.
"Mereka benar-benar seperti menunggu antrian kematian kan jadinya. Dan sedihnya pasien-pasien yang antri itu bukan yang sudah sepuh-sepuh, tapi usia 30 sampai 50-an. Usia produktif, meskipun ada juga yang beneran sepuh memang. Kadang ada yang DOA (death on arrival), ada juga yang meninggal di perjalanan," tulisnya.
Ironisnya, lanjut Agnes, para pasien dalam daftar antrean ini rata-rata berada di rentang usia antara 30-50 tahun, usia produktif yang di awal pandemi dianggap sebagai usia yang tidak lebih rentan dari kaum lansia.
Lebih lanjut, Agnes mengungkapkan angka kematian di rumah sakit menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan bulan lalu.
"Angka kematian di RS ini pasti tinggi, karena hampir setiap hari ada pasien meninggal. Hari ini dua, kemarin satu. Padahal sebulan lalu seminggu juga belum tentu satu. Bagian peralatan sudah menyiapkan peti mati lebih banyak karena kebutuhan meningkat," lanjut dia.
Meski tulisan tersebut menggambarkan keadaan rumah sakit dalam beberapa hari lalu, Agnes mengakui, keadaan rumah sakit saat ini tidak jauh berbeda.
Menurut dia, rata-rata rumah sakit sudah mengalami adanya antrean pasien meskipun keadaannya berbeda-beda.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/06/29/21013431/cerita-dokter-soal-pasien-covid-19-bak-hadapi-antrean-kematian-karena