Salin Artikel

Menyoal Kenaikan 5,1 Persen UMP DKI Jakarta 2022

Berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1517 Tahun 2021 tertanggal 16 Desember 2021 (selanjutnya disebut “Kepgub 1517/ 2021”), kenaikan 5,1 persen itu setara Rp 225.667 menjadi Rp 4.641.854.

Kepgub tersebut merupakan revisi dari Kepgub yang dikeluarkan Anies sebelumnya, yakni Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1395 Tahun 2021 pada tanggal 20 November 2021 (selanjutnya disebut “Kepgub 1395/2021”).

Dalam Kepgub 1395/2021, Anies menetapkan kenaikan UMP hanya 0,8 persen atau setara Rp 37.749 menjadi Rp 4.453.935.

Anies melakukan revisi setelah Kepgub 1395/2021 mendapatkan reaksi keras dari kalangan pekerja atau buruh sehingga melakukan beberapa kali unjuk rasa pada periode November 2021.

Namun, revisi UMP berbuntut panjang. Kalangan pengusaha menolak dan menempuh jalur hukum.

Ada beberapa catatan terkait dengan penetapan Kepgub 1517/2021 tersebut.

Pertama, tanggal penetapan sudah melebihi dari batas waktu yang telah ditentukan.

Dalam Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan (selanjutnya disebut “PP 36/ 2021”) diatur, UMP ditetapkan melalui keputusan gubernur selambatnya pada tanggal 21 November tahun berjalan.

Artinya, penetapan UMP DKI Jakarta tahun 2022 sudah melebihi waktu kurang lebih satu bulan sejak ketentuan yang ditetapkan.

Kedua, muncul setelah adanya tekanan pihak pekerja.

Terbitnya Kepgub 1395/2021 menuai banyak reaksi, khususnya pihak pekerja, yang menentang kenaikan UMP hanya 0,8 persen.

Sebelum dicabut, keberadaan Kepgub 1395/2021 telah sesuai dan selaras dengan pengupahan yang saat ini berlaku, baik perihal formula atau rumusan upah minimum, pola koordinasi dengan stakeholder, waktu penetapan maupun hal lainnya.

Yang menarik adalah PP 36/2021 tidak memberikan ruang kepada kepala daerah untuk mencabut maupun melakukan perbaikan atas surat keputusan yang telah dikeluarkan dalam tahun berjalan.

Ketiga, Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan PP 36/2021 bukan menjadi dasar hukum penetapan UMP DKI Jakarta Tahun 2022.

Dasar hukum penetapan UMP DKI Jakarta tahun 2022 adalah:

1. Undang–Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
2. Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut “UU 23/ 2014”).

Dua dasar hukum tersebut di atas apakah “memiliki kompetensi” dalam penetapan upah minimum suatu daerah?

Tidak ada satu pun pasal dalam kedua UU tersebut yang mengatur detail mengenai upah minimum.

Menurut Penulis, tidak adanya PP 36/2021 dalam dasar hukum penetapan Kepgub 1517/ 2021 adalah kunci ketidakpastian yang terjadi.

Presiden KSPI Said Iqbal sebelumnya menyampaikan, "pengupahan adalah kebijakan yang strategis. Jadi keputusan revisi UMP DKI Jakarta tidak salah. Sehingga PP Pengupahan tidak masuk dalam pertimbangan penetapan upah DKI Jakarta. Jadi, tidak perlu mengikuti pemerintah pusat." (Kontan.co.id, 29 Desember 2021)

Menanggai hal tersebut, Penulis juga perlu ingatkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi No.91/PPU-XVIII/2020 pada prinsipnya menyatakan, untuk saat ini UU Cipta Kerja masih berlaku.

Selain itu, dalam Putusan MK tersebut dapat disimpulkan bahwa seluruh regulasi pelaksana UU Cipta Kerja yang sudah keluar sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.91/PPU-XVIII/2020 masih berlaku, termasuk PP 36/ 2021.

Dengan demikian, mestinya PP 36/2021 masih menjadi dasar pengupahan bagi DKI Jakarta. Sama seperti daerah lain yang tetap menerapkan PP 36/2021 sebagai dasar hukum pengupahan daerah tersebut.

Keempat, Kepgub 1517/2021 tidak memandang bahwa kebijakan pengupahan adalah bagian dari Program Strategis Nasional.

Pemprov DKI Jakarta yang tidak menetapkan PP 36/2021 sebagai dasar hukum tentu juga berdampak bahwa bagi DKI Jakarta, pengupahan bukan sebagai program strategis nasional.

Hal tersebut merupakan pandangan seorang diri saja, berbeda dengan pandangan daerah lain.

Pasal 68 ayat (1) UU 23/ 2014 maupun Pasal 38 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah telah menentukan bahwa Setiap Kepala Daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional dapat dikenakan Sanksi Administratif secara bertahap, yaitu :

- Teguran tertulis;
- Teguran tertulis kedua;
- Pemberhentian sementara selama 3 (tiga) bulan; dan/ atau
- Pemberhentian.

Kelima, di mana hierarki keputusan gubernur dalam tata perundang-undangan?

Sebagaimana tertuang dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut “UU 12/ 2011”) sebagaimana yang telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut “UU 15/ 2019”) sebagai berikut :

“(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”

Dengan mempertimbangkan ketentuan di atas, Kepgub 1517/2021 memang masih dapat diakui keberadaan dan mempunyai kekuatan hukum mengikat dikarenakan mendasarkan pada UU 23/2014 tentang Pemda.

Namun Penulis tetap menyatakan kurang tepat jika dijadikan dasar dalam isu pengupahan.

Pasalnya, jelas diatur bahwa PP 36/ 2021 yang menjadi dasar ketentuan pengupahan yang berlaku saat ini.

Keenam, menimbulkan ketidakpastian dalam hubungan industrial dan menjadi contoh (kurang baik) bagi daerah lainnya.

Setidaknya, setelah Kepgub 1517/ 2021 terbit, terjadi unjuk rasa pekerja terkait upah minimum di Banten yang menuntut untuk merevisi keputusan gubernur yang telah dikeluarkan sebelumnya.

Keputusan Gubernur tersebut telah berdasarkan PP 36/2021. Penulis apresiasi sikap tegas dari Gubernur Banten Wahidin Halim perihal upah minimum 2022.

Kepastian hukum

Berdasarkan uraian di atas, ada sejumlah catatan terkait polemik UMP DKI 2022.

Upaya perbaikan kesejahteraan yang tidak mengindahkan hukum sebaiknya tidak terulang kembali.

Dua prinsip good governance, yakni kepastian hukum dan keadilan semestinya dapat berjalan selaras dan tidak saling bertentangan.

PP 36/ 2021 selayaknya mendapat penghormatan untuk dipatuhi. Apabila ada pihak yang tidak puas atas pemberlakuannya dapat menempuh upaya hukum yang ada, termasuk melakukan usulan revisi PP, bukan melakukan demo atau pun unjuk rasa yang malah merugikan dan menjadi preseden tidak baik bagi iklim investasi.

Penulis memberikan apresiasi kepada APINDO maupun pihak lainnya yang sudah menempuh upaya hukum, yakni menyampaikan gugatan Nomor 11/G/2022/PTUN.JKT tertanggal 13 Januari 2022 melalui PTUN Jakarta atas ketidaksetujuan yang terjadi.

Putusan PTUN Jakarta nantinya sebaiknya dijalankan dengan penuh itikad baik guna menciptakan dan menjaga iklim kerja yang kondusif.

https://megapolitan.kompas.com/read/2022/01/23/10301001/menyoal-kenaikan-51-persen-ump-dki-jakarta-2022

Terkini Lainnya

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Megapolitan
Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Megapolitan
Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Megapolitan
Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Megapolitan
Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Megapolitan
Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Megapolitan
Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Megapolitan
Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program 'Bebenah Kampung'

Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program "Bebenah Kampung"

Megapolitan
Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Megapolitan
Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Megapolitan
Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Megapolitan
Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Megapolitan
2 Pria Rampok Taksi 'Online' di Kembangan untuk Bayar Pinjol

2 Pria Rampok Taksi "Online" di Kembangan untuk Bayar Pinjol

Megapolitan
Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Megapolitan
Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke