JAKARTA, KOMPAS.com - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyoroti buruknya tata kelola sampah di DKI Jakarta.
Buruknya pengelolaan terlihat dari semakin bertambahnya timbunan sampah di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang.
Berdasarkan data yang dihimpun WALHI Jakarta, sampah harian di Jakarta meningkat selama periode 2015 hingga 2020. Peningkatan tersebut diperparah dengan rendahnya jumlah sampah yang berhasil dikurangi sebelum masuk Bantargebang.
Sementara, sebagian besar sampah di Jakarta merupakan organik, yakni sisa makanan dan kertas yang bisa didaur ulang.
"Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, sekitar 53 persen sampah Jakarta adalah sisa makanan yang tergolong organik dan tujuh persen sampah adalah kertas yang juga bisa didaur ulang," kata kata aktivis Walhi Jakarta Muhammad Aminullah, dikutip dari siaran pers, Senin (21/2/2022).
Aminullah mengatakan, sampah sisa makanan dan kertas yang bisa didaur ulang seharusnya tidak perlu dibuang ke TPST Bantargebang kemudian dibakar dengan insinerator.
Sementara, Bantargebang sebagai tempat pengolahan akhir sampah Jakarta seharusnya hanya menerima sampah residu, tidak menampung berbagai jenis sampah.
Menurut Aminullah, buruknya pengelolaan sampah disebabkan minimnya kesadaran, edukasi, dan sarana pemilahan sampah.
Kemudian, sampai saat ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih menggunakan skema pengelolaan kumpul-angkut-buang.
Skema tersebut, kata Aminullah, mengakibatkan hampir seluruh sampah warga Jakarta terbuang ke Bantargebang.
"Pada tahun 2020 saja, dari 8.369 ton timbulan sampah Jakarta, hanya 945 ton yang berhasil dikurangi, sementara 7.424 ton sisanya masuk ke Bantargebang," ujar dia.
Di sisi lain, pemprov telah memiliki peraturan terkait skema pengelolaan sampah yang berbasis pada penguatan masyarakat.
Peraturan tersebut yakni Peraturan Gubernur Nomor 77 tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Lingkup Rukun Warga dan Peraturan Gubernur Nomor 102 tahun 2021 tentang Kewajiban Pengelolaan Sampah di Kawasan dan Perusahaan.
Setiap rumah tangga wajib melakukan pemilahan dan menyetor sampah sesuai jadwal yang telah ditentukan. Jadwal pemungutan sampah sendiri diatur berdasarkan jenis sampah. Dengan demikian, jenis sampah yang tidak sesuai jadwal pengangkutan akan ditolak.
Ada pula aturan mengenai pengelolaan sampah tingkat rukun warga (RW) berbasis 3R (Reuse, Reduce, Recycle). Dengan skema tersebut, sampah yang bisa didaur ulang akan dikelola dan tidak terbawa ke Bantargebang.
Kendati demikian, Walhi menilai implementasi dua peraturan itu masih lemah. Padahal skema tersebut dinilai lebih efektif dan efisien dalam mengurangi sampah di Jakarta, ketimbang menggunakan insinerator.
Sementara, Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria mengatakan, sampah menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir di Ibu Kota.
Sampah di Jakarta, kata Riza, sangat banyak. Pada Oktober sampai Desember 2021, misalnya, pihaknya telah mengangkut 121.433,53 meter kubik sampah dari sungai.
"Tumpukan sampah di Jakarta menjadi salah satu alasan utama terjadinya banjir. Tentu, sampah tersebut didominasi oleh sampah plastik," kata Riza dikutip dari akun Instagramnya @arizapatria, Minggu (20/2/2022).
Politisi Partai Gerindra itu mengatakan, akumulasi sampah yang ada di sungai selama tiga bulan itu tingginya bisa melebihi Monumen Nasional (Monas).
Karena itu, ia mengingatkan masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan, khususnya di saluran air.
"Mari, kita buang sampah pada tempatnya agar sungai sebagai pengendali banjir bisa melaksanakan tugasnya secara maksimal," ujar dia.
https://megapolitan.kompas.com/read/2022/02/21/13211621/buruknya-tata-kelola-sampah-di-jakarta-jadi-sorotan-implementasi-pergub