JAKARTA, KOMPAS.com - Pengendara kendaraan bermotor atau kendaraan berbasis listrik akan dikenai tarif saat melewati jalan berbayar elektronik (electronic road pricing/ERP) di Ibu Kota.
Peraturan soal sistem ERP itu tercantum dalam rancangan peraturan daerah (Raperda) Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PPLE) yang masih disusun oleh DPRD DKI Jakarta.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai, aturan itu merupakan salah satu upaya yang cukup efektif mengatasi kemacetan di Ibu Kota.
Kendati demikian, Djoko memandang sistem jalan berbayar ini merupakan kebijakan yang tidak populer karena berpotensi mendapatkan pertentangan dari masyarakat.
Perbedaan mencolok
Djoko menyebutkan, ada perbedaan mencolok dalam penerapan ERP dibandingkan strategi Pemrov DKI lainnya dalam mengatasi kemacetan, yaitu ada uang yang akan terkumpul dalam jumlah yang sangat besar.
"Akan sangat sulit bagi Pemprov DKI meyakinkan masyarakat bahwa uang yang terkumpul itu adalah dampak dari aturan, bukan tujuan," tutur Djoko kepada Kompas.com, Rabu (11/1/2022).
Padahal, kata Djoko, penerapan ERP ini merupakan instrumen yang lebih maju (advanced) dan efisien dalam hal mengatasi kemacetan karena tidak memerlukan banyak petugas pengawas.
Kondisi ini bertolak belakang dengan kebijakan pembatasan kendaraan dengan nomor polisi ganjil dan genap pada tanggal tertentu. Ganjil-genap dinilai lebih banyak memakan anggaran daerah.
"Untuk itu Pemprov DKI harus transparan. Terbuka saja, uang pendapatannya berapa, tapi harus diingat bukan targetnya. Karena (ERP) ini tidak boleh ditarget," kata dia.
Dari hasil penerimaan ERP itu, Djoko mengatakan dapat digunakan untuk subsidi transportasi publik, membangun pedestrian, hingga jalur sepeda.
Untuk kepentingan publik
Dalam Raperda PPLE dinyatakan semua jenis kendaraan bermotor atau kendaraan listrik bisa melalui kawasan pengendalian lalu lintas secara elektronik.
Pada Pasal 13 Ayat 1 Raperda PPLE disebutkan, pengguna jalan yang melalui kawasan pengendalian lalu lintas secara elektronik dikenakan tarif layanan PPLE.
Adapun penerimaan dari tarif layanan PPLE itu juga diatur dalam Raperda tersebut. Berdasarkan bunyi pasal 17 ayat 1 disebutkan, penerimaan dari layanan akan dimanfaatkan untuk biaya penyelenggaraan PPLE.
Selain itu, penerimaan dari layanan itu juga bakal dimanfaatkan untuk peningkatan fasilitas pejalan kaki dan pengguna sepeda.
"Pemanfaatannya (juga) untuk peningkatan pelayanan angkutan umum dan peningkatan kinerja lalu lintas," tulis Raperda PPLE Pasal 17 Ayat 1 huruf c dan d.
Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan dari penyelenggaraan Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik nantinya bakal diatur dalam Peraturan Gubernur.
Dinilai sulit dapat dukungan masyarakat
Djoko memandang sistem jalan berbayar ini merupakan kebijakan yang tidak populer karena berpotensi mendapatkan pertentangan dari masyarakat.
"Kebijakan model begini biasanya tidak disukai masyarakat. Namanya disuruh membayar, mereka mana ada yang mau, kan?" tutur Djoko.
Menurut Djoko kebijakan ini kemungkinan hanya didukung oleh kelompok masyarakat yang peduli transportasi dan lingkungan saja, selebihnya akan menolak.
"Sehingga, hanya gubernur yang tidak peduli popularitas saja yang berani melaksanakan (ERP) atau kalau ada undang-undang yang wajibkan gubernur untuk terapkan itu," kata Djoko.
Menurut Djoko, selama ini gagasan kebijakan di Ibu Kota sudah banyak yang bagus. Namun, pada saat melakukan eksekusi, banyak yang tidak berani karena alasan politis atau berisiko tak dipilih lagi.
"Kebijakan ini memang hanya bisa dilakukan gubernurnya saat ini (Heru Budi Hartono). Mumpung dia (Heru) adalah Penjabat Gubernur," kata Djoko.
Harus ada uji coba
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga, mengatakan penerapan ERP masih perlu diuji coba dulu secara bertahap.
Uji coba itu bertujuan untuk mengamati efektivitas ERP dalam membatasi kendaraan pribadi dan mengurangi kemacetan lalu lintas secara signifikan sebelum diterapkan secara keseluruhan.
"Sosialisasi yang masif ke masyarakat Jakarta dan luar jakarta sangat diperlukan agar tidak mendapatkan resistensi dari masyarakat luas," ujar Nirwono kepada Kompas.com, Selasa (10/1/2022).
Dengan demikian, kata Nirwono, warga Jakarta dan sekitarnya didorong beralih naik transportasi publik. Namun, Nirwono mengingatkan hal penting agar kebijakan itu efektif.
"Pemprov DKI juga harus mempercepat penyediaan transportasi publik yg memadai, terpadu, dan terjangkau," ujar Nirwono.
Menurut Nirwono, selama biaya transportasi publik masih lebih mahal dibandingkan pengeluaran kendaraan pribadi, terutama motor, maka akan sulit mendorong masyarakat beralih ke transportasi publik.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/01/12/06150051/rencana-penerapan-jalan-berbayar-atau-erp-di-jakarta-demi-atasi-macet