JAKARTA, KOMPAS.com - Pengadilan Tinggi (PT) DKI menolak permohonan banding vonis seumur hidup mantan Kapolda Sumatera Barat Irjen Teddy Minahasa, dengan sejumlah pertimbangan.
Pejabat Humas PT DKI Binsar Pamopo Pakpahan menjelaskan, Teddy, dalam memori bandingnya menyebut tidak ada bukti jejak digital dalam aplikasi Whatsapp soal perintah penukaran barang bukti sabu menjadi tawas.
Adapun Teddy didakwa memerintahkan eks Kapolres Bukittinggi AKBP Dody Prawiranegara via WhatsApp untuk mengganti sabu dengan tawas.
"Pada pokoknya ada beberapa hal yang bisa diterima oleh majelis dari memori banding atas nama terdakwa Teddy Minahasa," kata Binsar usai persidangan di PT DKI, Kamis (6/7/2023).
Majelis Hakim PT DKI Jakarta, lanjut dia, mempertimbangkan tidak adanya riwayat jejak digital forensik yang jelas soal perintah penukaran barang bukti sabu.
Kendati demikian, banding yang diajukan Teddy akhirnya gugur lantaran terdakwa memberikan keterangan berbeda dalam persidangan.
"Persoalannya adalah itu berbeda dengan pengakuan terdakwa, bahwa dia hanya menjebak atas nama Linda," jelas Binsar.
"Sehingga akhirnya memori banding yang berdalilkan pembelaan bahwa tidak adanya digital forensik akhirnya menjadi gugur," lanjut dia lagi.
Kata Binsar, Majelis Hakim PT DKI Jakarta sepakat dengan pertimbangan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat terutama terkait unsur-unsur dalam tindak pidana yang didakwakan kepada Teddy Minahasa.
Teddy tetap dibui seumur hidup
Dalam sidang yang digelar hari ini, PT DKI Jakarta menguatkan vonis penjara seumur hidup yang dijatuhkan PN Jakarta Barat terhadap Teddy Minahasa.
“Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 96/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Brt yang dimintakan banding tersebut," ungkap Hakim Ketua Sirande Palayukan dalam persidangan.
"Menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan," imbuh dia.
Majelis Hakim juga memutuskan membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara.
Sebagai informasi, Teddy Minahasa divonis hukuman pidana penjara seumur hidup oleh Majelis Hakim PN Jakarta Barat. Vonis ini lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), yang menuntut hukuman mati.
Teddy terbukti melanggar Pasal 114 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain hukuman pidana, mantan Karo Paminal Divisi Propam Polri ini juga dijatuhi sanksi Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH) oleh tim Komisi Kode Etik Polri (KKEP).
Menurut jaksa dalam dakwaannya, Teddy terbukti bekerja sama dengan AKBP Dody Prawiranegara, Syamsul Maarif, dan Linda Pujiastuti (Anita) untuk menawarkan, membeli, menjual, dan menjadi perantara penyebaran narkotika.
Narkotika yang dijual itu merupakan hasil penyelundupan barang sitaan seberat lebih dari 5 kilogram.
Dalam persidangan terungkap bahwa Teddy meminta AKBP Dody mengambil sabu itu lalu menggantinya dengan tawas.
Awalnya, Dody sempat menolak. Namun, pada akhirnya Dody menyanggupi permintaan Teddy. Dody kemudian memberikan sabu tersebut kepada Linda. Setelah itu, Linda menyerahkan sabu tersebut kepada Kasranto untuk kemudian dijual kepada bandar narkoba.
Total, ada 11 orang yang diduga terlibat dalam peredaran narkoba ini, termasuk Teddy Minahasa. Sementara itu, 10 orang lainnya adalah Hendra, Aril Firmansyah, Aipda Achmad Darmawan, Mai Siska, Kompol Kasranto, Aiptu Janto Situmorang, Linda Pujiastuti, Syamsul Ma'arif, Muhamad Nasir, dan AKBP Dody Prawiranegara.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/07/06/16451771/pt-dki-ungkap-alasan-banding-vonis-penjara-seumur-hidup-teddy-minahasa