JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Muhammad,Rizieq Shihab, tak dapat izin berangkat ibadah umrah dari Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Jakarta Pusat.
Adapun Bapas Jakarta Pusat tidak menerbitkan izin karena Rizieq tidak mendapatkan rekomendasi dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat.
Kejari Jakarta Pusat tidak menerbitkan rekomendasi karena tidak bisa mengawasi aktivitas Rizieq di Arab Saudi.
Peneliti ASA Indonesia Institute, Reza Indragiri Amriel, memandang, sikap Kementerian Hukum dam Hak Asasi Manusia (HAM) itu dipertanyakan.
Jika Rizieq dikhawatirkan melakukan tindak pidana kembali, lembaga-lembaga dalam sistem peradilan seharusnya bisa memperlihatkan angka residivismenya.
"Kalau data itu lengkap tersedia, negara perlu menjelaskan secara terukur apakah tindak pidana Rizieq punya tingkat residivisme lebih tinggi dibandingkan yang lain," ucap Reza kepada Kompas.com, dikutip Kamis (3/8/2023).
Adapun residivisme adalah kecenderungan individu atau kelompok untuk mengulangi perbuatan tercela walaupun ia sudah pernah dihukum atas kesalahan itu.
"Jika ada tindak pidana lain yang tingkat residivismenya lebih tinggi, apakah negara juga melakukan pengawasan terhadap para eks napi yang memiliki riwayat sama?" kata Reza.
Tingkat kebahayaannya rendah
Di sisi lain, Reza melihat, tindak pidana yang mengantarkan Rizieq masuk bui pun tidak memiliki kebahayaan sama sekali pada masa kini.
"Bahkan tidak pula beralasan untuk dikhawatirkan. Pasalnya, kasus Petamburan dan kasus Megamendung berlangsung terkait situasi pandemi," kata dia.
Sekarang, pemerintah bahkan dunia sudah menyetop status pandemi. Sehingga, tidak ada lagi alasan untuk waswas bahwa seandainya Rizieq kembali mengadakan keramaian yang bakal menyebarluaskan Covid-19.
Apabila dikaitkan dengan kasus keonaran di media sosial, Reza menilai, seharusnya sangat mudah bagi negara memantau media sosial setiap warganegara.
"Di mana pun Rizieq berada, termasuk di Tanah Suci sekali pun, alat-alat negara punya teknologi agar selalu bisa memonitor dari jauh namun melekat," kata Reza.
"Seandainya ada keonaran di media sosial, dan itu akibat kelakuan Rizieq ya ringkus saja," kata Reza.
Kasus Rizieq
Rizieq divonis hukuman delapan bulan penjara dalam perkara pelanggaran kekarantinaan kesehatan di Petamburan, Jakarta Pusat pada 27 Mei 2021.
Kasus ini bermula saat Rizieq yang baru pulang dari Arab Saudi mengadakan acara pernikahan putri keempatnya sekaligus peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada 14 November 2020.
Kegiatan tersebut menuai kritik dari masyarakat, terutama di media sosial. Kerumunan di acara tersebut pada akhirnya menyeret Rizieq ke kasus hukum.
Sebulan setelah vonis kasus pertamanya, Rizieq kembali menghadapi sidang vonis dalam kaasus berbeda di PN Jakarta Timur.
Majelis hakim memvonis Rizieq empat tahun penjara dalam kasus penyiaran berita bohong dan menimbulkan keonaran terkait kasus tes usap RS Ummi.
Belakangan diketahui Rizieq dirawat disitu karena infeksi paru-paru akibat Covid-19.
Bebas bersyarat
Adapun Rizieq telah bebas dari Rumah Tahanan Negara (Rutan) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri pada Rabu (20/7/2023).
Setelah ditahan selama lebih dari 1,5 tahunsejak 20 Desember 2020. Rizieq keluar dari tahanan lebih cepat karena telah dinyatakan bebas bersyarat oleh Kemenkumham.
Dengan status itu, Reza justru mempertanyakan keputusan Kemenkumham yang memotong masa penahanan Rizieq. Artinya, kata dia, Rizieq sudah tak dianggap berbahaya bagi masyarakat.
"Pemotongan hukuman pidana Rizieq itu pertanda Mahkamah Agung tidak risau mempercepat masa reintegrasinya ke tengah-tengah masyarakat," ucap Reza.
Menurut dia, seandainya Rizieq dianggap berbahaya bagi masyarakat, tak mungkin MA mengorting masa pidananya.
Ajukan gugatan
Buntut pelarangan umrah tersebut, Rizieq menggugat Kepala Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Jakarta Pusat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Dilansir dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, gugatan itu didaftarkan pada 28 Juli 2023 dengan nomor perkara 339/G/2023/PTUN.JKT.
Namun, dalam SIPP belum tertera isi dari gugatan tersebut. Kuasa hukum Rizieq, Aziz Yanuar, mengatakan gugatan itu dilayangkan karena Bapas Kelas I Jakarta Pusat tidak mengeluarkan izin kepada kliennya untuk berangkat umrah.
Aziz menganggap alasan Kejari Jakarta Pusat t yang tak punya instrumen pengawasan terhadap Rizieq itu tidak masuk akal.
“Alasan yang dilakukan pihak Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat adalah kesulitan pengawasan. Hal ini sangat menggelikan dan membuat kami terbahak-bahak tentu saja,” kata Aziz.
Sebab, Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia memiliki perwakilan di Arab Saudi yang bisa mengawasi Rizieq.
Terlebih, dalam UU Kejaksaan Pasal 11A ayat (1) dan Peraturan Presiden No 38 Tahun 2010 Pasal 57 jo No 29 Tahun 2016 jo No 15 Tahun 2021 diatur bahwa jaksa dapat bertugas pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
"Hingga saat ini, sudah ada empat lokasi penugasan jaksa di luar negeri. Jadi, KBRI Riyadh ada jaksa juga, jika alasannya untuk pengawasan,” tegas dia.
(Penulis : Xena Olivia | Editor : Nursita Sari, Irfan Maullana, Ihsanuddin)
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/08/03/16503671/rizieq-shihab-tak-dapat-izin-umrah-pengamat-apakah-tingkat-residivismenya