JAKARTA, KOMPAS.com - Tiga pelajar SMP di Jakarta Barat ditetapkan sebagai tersangka usai menyiram air keras terhadap enam pelajar lain di Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara pada Selasa (22/8/2023).
Ketiga pelaku tersebut adalah VG (15), MM (15), dan IA (15).
Sedangkan, korban yang juga masih berstatus pelajar SMP itu meliputi MSI (13), AZK (14), HAK (13), FAG (14), MN (14), dan CB (14).
Para korban mengalami luka bakar di bagian wajah, telinga, dan leher sehingga harus dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kalideres untuk mendapatkan pertolongan pertama.
Acak atau salah sasaran
Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Pol Gidion Arif Setyawan mengungkapkan bahwa ketiga pelaku menyiram air keras kepada korban setelah ditantang berkelahi dengan saksi berinisial W.
Pada siang itu, para pelaku yang berbonceng tiga menggunakan sepeda motor saat pulang sekolah.
Kendati demikian, ketiganya bertemu dengan rombongan W yang juga merupakan pelajar dari sekolah lain.
Sontak VG berteriak dan disambut dengan berupa teriakan juga oleh W. Mendengar balasan itu, pelaku memutar arah dan menghampiri rombongan saksi.
Alhasil, cekcok mulut tak terhindarkan.
Setelahnya, VG mengajak dua temannya pulang ke rumahnya untuk mengambil air keras yang disimpan di dalam botol.
Rupanya, air keras tersebut sudah dibeli oleh VG sebelumnya di toko material dekat rumah.
"Selanjutnya pelaku VG mengajak para pelaku lainnya untuk mencari rombongan yang sebelumnya cekcok mulut dengan para pelaku tersebut," ucap Kalolres Metro Jakarta Utara Kombes Pol Gidion Arif Setyawan.
"Para pelaku naik motor berboncengan tiga dengan posisi pelaku MM yang mengendarai, pelaku IA di tengah dan pelaku VG di belakang," lanjutnya.
Saat mereka melintas di dekat Bundaran Kamal, ketiganya melihat rombongan korban yang sedang naik mobil bak terbuka.
Mengira korban adalah kelompok W, VG menginstruksikan MM agar mengendarai motor pelan-pelan lalu dia menyiramkan air keras yang telah dipersiapkan sebelumnya ke arah para korban.
"Tapi ternyata, ketika dia (VG) melemparkan air keras, objeknya random (bukan kelompok W), sasarannya menjadi random," ucap Gidion.
Pergeseran
Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Adrianus Meliala menyoroti peristiwa ini.
Modus tawuran antar pelajar beralih, yang bermula "senjatanya" adalah celurit atau lain hal, kini berganti air keras.
Dia menyadari bahwa tawuran tetap saja terjadi di sejumlah titik sudah banyak mendapatkan kajian dan intervensi dalam bentuk program hingga kegiatan dari sejumlah stakeholder.
Setidaknya ada tiga hal yang menurut Adrianus menjadi faktor pendorong modus tawuran pelajar terus berubah dan berkembang.
Pertama, adalah kemunculan media sosial. Sekarang, tidak sedikit dari mereka tergabung dalam sebuah grup WhatsApp lalu merencanakan tawuran dengan kelompok lain.
"Dalam hal ini, pihak kepolisian berada satu atau dua langkah di belakang karena mereka tidak masuk di dalam grup WhatsApp tersebut," ujar Adrianus.
Kedua, yakni adanya tawuran dengan kendaraan bermotor.
Adrianus menyadari ini bukan hal baru.
Menurut dia, rendahnya uang muka untuk memiliki kendaraan roda dua patut diduga menjadi salah satu pendorong terjadinya tawuran dengan motor.
"Dengan semakin mudahnya kendaraan bermotor dimiliki oleh keluarga-keluarga, bahkan dengan down payment Rp 500.000 saja sudah bisa bawa motor, maka hampir menjadi suatu kepastian bahwa tawuran tanpa motor itu rasanya tidak cocok," kata Adrianus.
"Bayangkan, dengan situasi satu dekade yang lalu, di mana tawuran biasanya jalan kaki, sekarang banyak sekali yang dilakukan dengan kendaraan bermotor," lanjutnya.
Terakhir adalah masih melekatnya isu-isu yang meliputi perkelahian antar kampung, antar sekolah, sakit hati antar alumni, atau percintaan.
"Dengan kata lain, tawuran bukan lagi suatu khas sekolah, tapi sudah menjadi tawuran yang melibatkan berbagai macam pihak," tegas Adrianus.
Perhatian khusus
Dengan begitu, dia mengusulkan agar pemangku kebijakan membuat keputusan agar sekolah yang kerap kali tawuran berhenti menerima siswa baru selama tiga tahun.
"Sekolah yang punya masalah dengan tawuran, itu satu periode selama tiga tahun tidak lagi menerima siswa, dari kelas satu sampai kelas dua dan tiga," kata Adrianus.
Menurut Adrianus, pemutusan regenerasi angkatan perlu dilakukan karena banyak tawuran terjadi disebabkan dengan adanya cerita di masa lalu
yang terus diulang sehingga menjadi suatu yang emosional.
"Cerita itu bisa dipotong, itu mesti dihapuskan," tegas Adrianus.
Dengan adanya kebijakan tersebut, Adrianus berpandangan, sekolah yang tadinya bermasalah dengan tawuran akan diisi dengan angkatan baru yang tidak lagi menerima narasi di masa lalu.
"Tidak lagi menerima legenda itu, tidak lagi menerima cerita itu, tidak ada lagi pihak yang menarasikan bahwa, 'sekolah itu musuh kita ya, layak untuk kita kejar dan cari dia'," imbuh Adrianus.
Meski begitu, Adrianus menyadari bahwa kebijakan tersebut memerlukan pertimbangan yang matang.
"Tentunya (ini menjadi) suatu wacana yang menarik untuk dikaji oleh para pemangku kebijakan," tutur Adrianus.
Selain hal tersebut, Adrianus mengusulkan agar pihak kepolisian memetakan sejumlah titik yang menjadi rawan tawuran.
"Pemetaan berbasis lokasi, berbasis data, di mana tawuran terjadi dan siapa kelompoknya, ada polanya," ujar Adrianus.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/08/29/05274001/saat-senjata-tawuran-berganti-dari-sajam-jadi-air-keras