JAKARTA, KOMPAS.com - Dua pedagang beras di Pasar Rawa Badak, Muhammad Chusein (45) dan Chuyenk (28), merasa tercekik karena harga dagangannya yang terus merangkak naik.
Mereka dipaksa harus beradaptasi dengan keadaan selama lebih dari satu bulan terakhir ini.
Bahkan, Chusein harus mengeruk tabungan dan berutang demi modal berdagang.
Sebagai pedagang beras, Chuyenk mengaku bingung ketika dia mendapat protes para pembeli.
Pasalnya, kata Chuyenk, beras yang harganya melambung tinggi justru berkualitas rendah.
Sejak 17 Agustus 2023
Chusein mengungkapkan, kenaikan harga beras di Pasar Rawa Badak, Koja, Jakarta Utara ini sudah berlangsung sejak 17 Agustus 2023.
Dalam periode tersebut hingga hari ini, harga beras belum pernah mengalami penurunan.
"Sejak 17 Agustus itu sudah mulai naik sampai sekarang, merangkak sedikit-sedikit terus, melonjak sampai Rp 2.000 per kilogram," kata Chusein saat ditemui Kompas.com di Pasar Rawa Badak, Koja, Jakarta Utara, Rabu (11/10/2023).
Keruk tabungan dan berutang
Menurut Chusein, kenaikan harga beras sangat mencekik para pedagang di Pasar Rawa Badak.
"Sekarung naiknya bisa Rp 40.000-Rp 50.000. Karung kecil yang itu, yang 25 kilogram. Dulu kan Rp 330.000, sekarang Rp 380.000," ujar Chusein.
Dalam keadaan yang terimpit tersebut, Chusein terpaksa membongkar celengan demi modal yang kian membesar.
"Iya, dari Agustus itu sudah mulai merangkak, merangkak, merangkak. Dijual, tapi nambah modal lagi. Gitu terus. Dijual Rp 330.000, nambah lagi Rp 340.000. Gitu saja terus. Satu mobil itu bisa tambah Rp 7 juta kami," ucap Chusein.
"Ya maksudnya kenaikan harga bisa Rp 7 juta (untuk sejumlah karung beras yang diangkut mobil bak terbuka). Yang punya celengan, pada bongkar celengan," lanjut dia.
Bukan hanya itu, terkadang Chusein juga berutang demi memiliki tambahan modal membeli beras.
"Ngutang malah, ngutang semua, enggak kayak dulu. Orang-orang di dalam itu sudah pada ngeluh saat berjualan. Gali lubang tutup lubang," ujar Chusein.
Kualitas rendah
Chuyenk menyebut kenaikan harga beras tidak sebanding dengan kualitasnya.
Menurut dia, harga beras yang naik merupakan jenis dengan kualitas rendah.
"Harga beras kacau pokoknya, naiknya enggak kira-kira. Kalau misalnya baik barang bagus, enggak apa-apa. Ini sudah naik tapi barangnya jelek, sama saja bohong,” ungkap Chuyenk.
“Iya (yang kualitasnya rendah). Yang tadinya enggak laku, sekarang jadi laku. Itu, beras yang sering dikonsumsi, beras raskin, gitu,” lanjut dia.
Untuk harga eceran, mulanya modal beras di toko Chuyenk hanya Rp 10.000 per kilogram.
Namun, kini dia harus mengeluarkan modal Rp 15.000 untuk 1 kilogram beras.
“Kalau saya sebagai pedagang penginnya kayak dulu lagi, dinormalkan lagi. Maksudnya, jangan bikin yang sudah sulit, menjadi lebih sulit,” imbuh Chuyenk.
Dugaan kenaikan harga beras
Tak hanya kemarau panjang yang diduga menjadi penyebab kenaikan harga beras di pasar.
Chusein justru menduga, kenaikan harga terjadi imbas proses panjang pemilihan umum (pemilu) di Indonesia.
“Ya ada kemarau panjang, ada politik mungkin, kan jelang pemilu ini,” kata Chusein sambil tertawa.
Namun, Chusein tidak bisa memastikan dugaannya itu.
Kenaikan harga beras di Pasar Rawa Badak menjadi momok bagi Chuyenk, mengingat isu beras plastik yang santer di masyarakat.
“Kemarin kan juga ada isu beras plastik. Jadi, kota jualnya bingung juga. Kita jual beras bagus, dikira beras plastik. Beras jelek, dikira enggak bermutu, tapi harga malah tinggi. Kan jadi serba salah,” kata dia.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/10/12/08500341/kala-pedagang-di-pasar-rawa-badak-tercekik-kenaikan-harga-beras