JAKARTA, KOMPAS.com - Jakarta sebentar lagi resmi menyandang status baru sebagai daerah khusus, bukan lagi sebagai ibu kota negara.
Dasar hukumnya pun sudah disusun dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bersama pemerintah.
Nantinya, Jakarta memiliki kewenangan khusus dalam menjalankan pemerintahan, sebagai wilayah pusat perekonomian sekaligus kota global.
Sementara itu, Ibu Kota akan pindah ke Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.
Kendati demikian, Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Suhajar Diantoro menilai perubahan status tersebut tidak berarti membuat Jakarta bisa menahan atau mengurangi urbanisasi ke daerahnya.
Berdasarkan data hasil riset yang dimiliki Suhajar, hanya satu dari tiga penduduk Indonesia yang memilih tetap tinggal di desa.
Alasannya karena masyarakat ingin mendapatkan kesempatan kerja, akses untuk pendidikan dan pelayanan kesehatan, hingga perubahan sosial dan gaya hidup.
“Kadang-kadang kita berpikir bagaimana ya membatasi orang masuk. Padahal, sudah takdir sebuah kota akan dikunjungi ramai orang, itu memang sudah di mana-mana,” ujar Suhajar dalam diskusi daring Forum Merdeka Barat 9, Senin (22/4/2024) kemarin.
Dengan begitu, Jakarta akan tetap ramai dan menjadi salah satu tujuan pendatang, meski tak lagi berstatus ibu kota negara. Kondisi ini, dianggap Suhajar sangat wajar terjadi kota-kota besar di dunia.
Untuk itu, Undang-Undang (UU) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) mengatur beberapa aturan khusus agar roda pemerintahan bisa berjalan optimal, termasuk dalam mengatasi permasalahan yang ada sebelumnya.
Diprediksi tetap macet
Dalam diskusi yang sama, Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna memprediksi Jakarta akan tetap padat dan macet.
Kondisi ini tidak terlepas dari kekuatan ekonomi Jakarta yang masih didominasi oleh pedagang eceran dan digerakan oleh sektor transportasi.
“Berdasarkan data produk domestik regional bruto (PDRB) 2021-2023, Jakarta ini sangat bergantung pada perdagangan eceran. Ingat di Jakarta ini bisnis terbesar itu digerakan oleh sektor transportasi khususnya motor,” ujar Yayat.
“Bayangkan nih sekarang ada 26 juta kendaraan di Jakarta, sementara 19 jutanya motor. Jadi ekonominya bergerak di situ yang paling besar,” sambungnya.
Di sisi lain, Yayat berpandangan sangat sulit mengembangkan industri pengolahan di Jakarta. Untuk itu pemerintah DKJ nantinya harus bisa mendorong perekonomian di luar sektor bisnis tersebut.
Terlebih, lanjut Yayat, Jakarta memiliki potensi untuk mengembangkan sektor jasa keuangan, asuransi, dan perusahaan dengan ketersediaan sumber daya manusia yang ada.
“Akibatnya apa kalau Jakarta kalau ke depannya dipadati motor dengan pendapatan yang terbatas. Ini persoalan besar. Jakarta akan padat, ekonominya tumbuh tidak terlalu cepat dibandingkan kalau berbasis industri pengolahan,” ungkap Yayat.
Sejalan dengan itu, pemerintah di wilayah aglomerasi harus bisa mensinergikan pengembangan layanan transportasi publik. Dengan begitu, penggunaan kendaraan pribadi untuk beraktivitas di Jakarta atau datang dari kota penyangga dapat dikurangi.
“Jadi selama pola ekonomi kita gagal membangun publik transportasi yang andal, infrastruktur yang andal, maka kota ini akan semakin padat dengan kendaraan pribadi, padat dengan polusi dan boros dengan konsumsi bahan bakarnya,” pungkas Yayat.
Jumlah kendaraan bakal dibatasi
Terkait hal itu, Suhajar mengatakan bahwa pemerintah DKJ diberikan kewenangan untuk membatasi jumlah kendaraan yang dimiliki setiap warga.
Hal itu sudah dituangkan dalam UU DKJ bagian kewenangan khusus perhubungan, yang meliputi jumlah kepemilikan kendaraan bermotor perseorangan.
“Di dalam UU khusus ini kami (pemerintah) sepakat dengan DPR memberi kewenangan kepada Pemerintah Daerah Khusus Jakarta, sampai dengan pengaturan jumlah kendaraan yang boleh dimiliki masyarakat,” ungkap Suhajar.
Kewenangan ini diberikan dengan harapan dapat mengatasi masalah kemacetan di Jakarta, setelah tak menjadi Ibu Kota. Nantinya, pemerintah DKJ bisa membuat aturan turunan untuk menjalankan kewenangan pembatasan jumlah kendaraan itu.
“Mungkin nanti kami dapat terapkan melalui pajak progresif yang sekarang sudah diterapkan untuk mobil," kata Suhajar.
Artinya, kata dia, kalau masyarakat merasa bahwa membayar pajak terlalu mahal untuk mobil kedua, ketiga, ataupun kendaraan lain, maka nafsu untuk berbelanja kendaraan akan turun.
Meski begitu, Suhajar berpendangan penerapan kebijakan tersebut ataupun pengembangan sektor perekonomian lainnya perlu dibarengi dengan kemampuan pemerintah daerah mengelola transportasi publik.
“Nah, itu yang masih harus kita kembangkan, transportasi umum. Sehingga nanti orang sebagian secara masif akan melepaskan transportasi pribadinya, beralih ke transportasi umum,” kata Suhajar.
Pelayanan di kelurahan ditingkatkan
Selain upaya mengatasi kemacetan, UU DKJ juga mengatur secara khusus upaya peningkatan kualitas pelayanan untuk warga.
Dalam beleid itu, terdapat kewajiban mengalokasikan lima persen anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), untuk operasional kelurahan di seluruh wilayah.
“Untuk menjaga pemerataan pembangunan bagaimana, dan kami sepakat akhirnya minimal 5 persen dana APBD dapat disalurkan, wajib disalurkan sampai ke kelurahan,” kata Suhajar.
Menurut Suhajar, pengaturan alokasi anggaran ini untuk memperkuat peran kelurahan dalam memberikan pelayanan dan menyelesaikan setiap permasalahan sosial.
Prioritas utama anggaran itu untuk membantu lansia tanpa mata pencaharian, memberikan pendidikan gratis bagi anak yatim piatu dan modal kerja bagi penyandang disabilitas,
“Kemudian juga program perbaikan gizi balita di bawah garis kemiskinan dan pembukaan lapangan kerja bagi anak putus sekolah,” kata Suhajar.
Di samping itu, UU DKJ juga mengatur penggunaan anggaran kelurahan untuk pengadaan taman bermain hingga kewajiban memfasilitasi kegiatan keagamaan di daerah kumuh.
"Kelurahan merupakan ujung tombak menyelesaikan masalah-masalah kecil yang jumlahnya sangat banyak, dan sangat mempengaruhi kualitas hidup masyarakat," ucap Suhajar.
https://megapolitan.kompas.com/read/2024/04/23/09131441/tak-beda-jauh-nasib-jakarta-setelah-jadi-dkj-diprediksi-masih-jadi-magnet