Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Basuki: Silakan Datang ke Jakarta, asal...

Kompas.com - 13/08/2013, 07:17 WIB

Anda melanggar hak asasi orang, kok Anda yang merasa dizalimi padahal Anda yang menzalimi orang lain, kan? Nah, sekarang jadi terbalik-balik. Misalnya, saya memaksa masuk tinggal di rumah kamu. Pas kamu mau ngusir saya, saya bilang saya minta ganti dibeliin rumah. Kalau tidak, kamu melanggar HAM saya. Apa itu melanggar HAM? Kenapa Anda tak mengatakan bahwa saya melanggar HAM Anda.

Anda melanggar peraturan. Ini jalan Anda buat macet. Anda kuasai. Bagaimana Anda bisa mengatakan, ketika Anda ditertibkan, Anda mengatakan, Anda yang didiskriminasi, Anda yang dizalimi. Kan lucu. Ini bukan saya yang ciptakan kata-kata itu, lho. Itu adalah peraturan daerah, undang-undang yang diciptakan, kan.

Lalu Anda masih bisa berdalih, DPRD tidak mewakili kami rakyat, DPRD tidak mewakili kami. Itu urusan tata negara, kami tidak merasa diwakili. Oke, Anda mau ngotot seperti itu. Sekarang, pertanyaan saya, dari 100 orang, kalau hanya sepuluh yang melanggar, saya harus bela yang mana? Yang 90 itu dong yang saya harus bela. Ini kan jelas. Sama seperti Tanah Abang. Kemarin saya lihat penduduk teriak-teriak senang ketika rumah jagal dirobohin. Bayangin, mereka bilang 20 tahun. Ada anak muda 28 tahun. Dia udah dari umur 8 tahun menderita karena bau di situ dan enggak bisa berkutik ngapa-ngapain. Ada ibu-ibu juga kasih komentar seperti itu.

Operasi yustisi nanti akan dilakukan dengan selektif, sesuai kriteria. Ini bukan berarti karena Gubernur Jakarta KTP-nya juga belum KTP Jakarta bukan?

Memang prosesnya seperti itu. Buktinya, kalau ada di hotel, saya juga tidak mengadakan operasi yustisi. Itu yang saya minta. Jangan lagi operasi yustisi ke kos-kosan yang mahal. Itu bukan operasi yustisi. Itu namanya mau cari duit.

Menghabiskan uang untuk mendapatkan uang, kan? Ngapain cari orang yang datang ke Jakarta bisa membawa uang di atas KHL. Kalau dia bisa membelanjakan uang di atas Rp 2 juta, Rp 3 juta, silakan datang ke Jakarta.

Pada 3 November 2012, Anda mengatakan, Jakarta terbuka bagi urbanisasi dengan manajemen baru. Manajemen baru seperti apa?

Urbanisasi dengan catatan, yang datang uangnya banyak. Anda kalau mau beli apartemen, mau beli hotel, mau beli ruko, mau beli mal, silakan datang.

Bagaimana dengan mereka yang ingin datang untuk mencari nafkah lebih?

Tidak masalah, selama Anda bisa mendapatkan nafkah di atas kebutuhan hidup layak Anda. Kalau Anda bisa dapat gaji seperti itu. Sekarang, hidup layak di DKI ini di atas dua juta-an. Kalau Anda berpenghasilan yang tidak cukup untuk bayar kos, ya Anda jadi masalah. Anda pasti akan tinggal di rumah-rumah kumuh yang disewakan, yang sebagian mencuri listrik, mencuri air. Sewa 250.000 sudah termasuk listrik, AC, air. Dari mana hitungannya? Kenapa bisa begitu? Karena tanahnya di tanah negara. Itu yang tidak boleh.

Maka, solusi bagi kami sangat sederhana. Silakan orang datang ke Jakarta, tapi kalau Anda melanggar peraturan di Jakarta, jualan di jalan, tinggal di kawasan kumuh, kami akan tangkap Anda.

UUD Pasal 28 memperbolehkan setiap orang tinggal di mana saja ia beroleh pekerjaan apa saja serta kesejahteraan.

Itu betul.

Anda tak merasa membatasi?

Saya tidak membatasi. Kalau penghasilan di bawah KHL, Anda sejahtera enggak? Anda boleh tinggal di mana saja betul, tapi di mana saja tidak berarti di rumah orang, kan? Ada aturannya, kan? Jadi baca undang-undang enggak bisa seenaknya.

Sama seperti ikan di akuarium. Dia bebas berenang, kan. Bebas. Coba itu ikan loncat keluar akuarium, bebas, tetapi mati ikan itu. Sederhana gitu, kamu bebas, tetapi bebas di dalam air. Kalau ikan mau bebas seenak-enaknya, mau ekspansi ke darat, ya mati kamu. Sama. Ini bebas, tetapi bebas bukan berarti mengambil kebebasan orang, merugikan orang, kan?

Kalau Anda bilang bebas, oke Anda bebas. Kalau lebih banyak orang yang enggak bebas gara-gara kamu, apa kamu ini bebas seperti yang dimaksud? Ini negara hukum. Nah, pengertian ini yang harus kita sepakati.

Makanya, bagi kami, solusinya sederhana. Semua kawasan kumuh harus dihancurkan. Makanya, kami membangun superblok 400 hektar di Marunda, Cilincing. Anda yang tidak punya rumah, tidak ada lagi ganti untung, ganti rugi. Kami sudah cabut pergub. Dulu kan kalau kita menghancurkan rumah ada ganti uang kerohiman. Apa itu uang kerohiman? Anda duduki tanah negara tidak bayar masak mau dibayar lagi. Kalau begitu caranya, persepsi orang jadinya apa? Kalau mau dapat rumah di Jakarta gampang. Duduki saja tanah negara, nanti waktu diusir dapat duit kan?

Saya kasih contoh, kalau saya bisa selesaikan tugas di sini lima tahun, nanti waktu saya tidak tugas di sini lagi, saya enggak mau keluar dari kantor ini. Boleh enggak? Kalau ikuti pengertian tadi, artinya boleh dong. Kalau enggak begitu bagaimana? Saya minta pengertian, duduk bersama, saya minta ganti kantor yang mirip ini juga. Kecil sedikit tidak apa-apa dan tempatnya tidak jauh dari sini. Saya enggak mau jauh-jauh, saya maunya dekat sini juga. Boleh enggak saya bicara seperti itu?

Itu dengan pola pikir mereka?

Itu tadi kenapa? Karena ada oknum-oknum tertentu yang memberitahu seperti itu, karena selama ini tidak pernah ada penegakan hukum.

Kampung kumuh akan dihancurkan. Ketika mendengar kata dihancurkan, orang akan khawatir atau waswas seperti yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama kali ini?

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Megapolitan
Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Megapolitan
Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Megapolitan
Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program 'Bebenah Kampung'

Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program "Bebenah Kampung"

Megapolitan
Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Megapolitan
Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Megapolitan
Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Megapolitan
Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Megapolitan
2 Pria Rampok Taksi 'Online' di Kembangan untuk Bayar Pinjol

2 Pria Rampok Taksi "Online" di Kembangan untuk Bayar Pinjol

Megapolitan
Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Megapolitan
Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Megapolitan
Prabowo-Gibran Belum Dilantik, Pedagang Pigura: Belum Berani Jual, Presidennya Masih Jokowi

Prabowo-Gibran Belum Dilantik, Pedagang Pigura: Belum Berani Jual, Presidennya Masih Jokowi

Megapolitan
Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Sendiri Pakai Senpi

Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Sendiri Pakai Senpi

Megapolitan
2 Pria Rampok Taksi Online di Jakbar, Leher Sopir Dijerat dan Ditusuk

2 Pria Rampok Taksi Online di Jakbar, Leher Sopir Dijerat dan Ditusuk

Megapolitan
Polisi Periksa Kejiwaan Orangtua yang Buang Bayi ke KBB Tanah Abang

Polisi Periksa Kejiwaan Orangtua yang Buang Bayi ke KBB Tanah Abang

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com