Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Basuki: Silakan Datang ke Jakarta, asal...

Kompas.com - 13/08/2013, 07:17 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Dalam wawancara dengan Kompas TV, Senin (12/8/2013), Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, Ibu Kota terbuka bagi semua orang, tetapi ada aturan main yang harus diperhatikan oleh orang-orang yang ingin datang ke Jakarta.

Berikut ini adalah kutipan wawancara tersebut.

Apakah Pemprov DKI sudah punya solusi untuk membendung urbanisasi di Jakarta?

Saya kira, Jakarta tak bisa tertutup. Namanya Ibu Kota. Jika kita berpikir secara jujur, kita mengeluarkan berapa ratus miliar sampai triliun untuk mempromosikan wisata, investasi, pendidikan. Artinya, Anda mengundang orang datang ke Jakarta.

Seharusnya semakin banyak orang datang, pertumbuhan ekonomi akan lebih meningkat. Kenapa hari ini jadi ribut orang menganggap Jakarta tertutup? Jakarta tertutup untuk orang yang datang ke sini, tetapi tidak bisa membelanjakan uangnya di atas kebutuhan hidup layak (KHL). Itu yang masalah.

Nah, orang-orang yang mencoba-coba mengadu nasib, akhirnya mereka ada yang tinggal di rumah-rumah yang tidak permanen ini. Itu yang masalah sebetulnya.

Misalnya, kita ambil contoh yang sederhana. Pembantu rumah tangga. Itu penghasilan memang di bawah dua juta. Pernah enggak mereka membuat masalah di Jakarta? Tidak. Hampir semua pembantu rumah tangga yang pulang kampung, dititipin sama nyonyanya, sama tetangga, "Eh tolong bawa lagi ya." Karena apa? Artinya apa? Karena memang ada kebutuhan.

Mereka terserap. Itu tidak masalah. Penghasilan mereka memang di bawah KHL, tetapi mereka hidup di rumah majikannya, dapat makan, dapat tinggal, semua. Selama yang dibutuhkan, tidak masalah.

Soal imbauan "Jangan bawa kerabat ke Jakarta?"

Yang dimaksud beliau (Gubernur DKI Jakarta) adalah kerabat yang mengadu nasib, yang enggak punya uang. Kalau kerabat Anda yang mau jalan-jalan di Jakarta, ya kita senang. Anda bisa belanja ke Ancol, ke Dufan, kenapa tidak? Anda bisa bawa kerabat yang menginap di hotel-hotel di Jakarta, ya kita imbau malahan.

Bagaimana dengan operasi yustisi kependudukan. Apakah dihapuskan?

Jadi bukan berarti operasi yustisi dihapuskan seperti yang dulu. Operasi yustisi tetap ada, tetapi kita tak mau ini menjadi kegiatan yang menghabiskan APBD. Tak ada gunanya Anda cuma menangkapi orang-orang di kawasan kumuh.

Soal anggaran operasi yustisi sebelum era Joko Widodo-Basuki?

Saya enggak tahu. Dulu berapa miliar ya, Rp 2 miliar atau berapa miliar gitu. Untuk apa. Tidak ada gunanya. Jadi, kalau mau efektif, kan kita bicara tadi, yang datang ke Jakarta tidak boleh berpenghasilan yang rendah. Kalau dia menginap di hotel, silakan. Kita undang Anda datang ke Jakarta, menginap di hotel saja gitu lho. Tapi kalau Anda tinggal di kawasan kumuh, itu yang tidak boleh.

Nah, cara mengatasinya bagaimana? Daripada operasi yustisi seperti itu, lebih baik kawasan kumuhnya kami bongkar. Atau kawasan kumuh yang sudah terbakar, jika itu di atas tanah negara, kami melarang bangun kembali. Kalau Anda bangun kembali di atas tanah-tanah negara ini, kami akan pidanakan Anda. Kita tidak mau tahu.

Itu sesuai Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Dari Pasal 28 sampai 32 jelas di situ, Pasal 35 malah dikatakan sama, termasuk dagang, ketertiban di jalan raya, di trotoar. Itu semua harus ada tindakannya. Satpol PP akan turun tangan.

Nah, selama ini Satpol PP kita seperti operasi yustisi hanya semacam kegiatan saja. Itu menghabiskan uang, kan? Tangkap, kurung, balikin. Kayak main Tom and Jerry. Itu sesuatu yang lucu. Kayak pagar ayu. Meleng sedikit, nongol lagi. Yang perlu dilakukan, menurut Pak Gubernur, Satpol PP kalau mau menaikkan wibawa seribu kali, gampang sekali. Pidana. Ambil tindakan tegas. Dua orang Satpol PP juga punya kuasa besar. Pidana saja. Penegakan hukum adalah masalah utama di DKI, bukan soal operasi yustisi. Semua (operasi yustisi kependudukan) harus ada, tetapi tak ada gunanya kalau tak ada penegakan hukum.

Orang didenda Rp 10.000 untuk apa? Itu namanya main-main. Denda yang maksimal dong. Kalau tertulis Rp 20 juta, ya minimal dendanya Rp 3 juta. Lumayan dia jual handphone satu untuk tebus atau dikurung 60 hari. Anda tinggal pilih. Dikurung 60 hari atau denda. Enggak usah mahal-mahal, Rp 3 juta saja. Kamu kapoklah. Kalau Rp 20 juta, kamu masuk penjara, enggak enak juga kan. Kalau Rp 3 juta, kamu masih bisa jual barang, pinjam sana-sini, biarin. Lama-lama kamu kapok sendiri.

Operasi yustisi tidak ke rumah-rumah, tetapi ke tempat usaha. Tempat usaha seperti apa yang akan dijadikan sasaran operasi yustisi?

Terutama PKL-PKL yang nutupin jalan. Jadi kita ada tiga cara. Ketika dia tutupin jalan, kita akan gunakan perda tadi, juga bisa gunakan undang-undang lalu lintas. Nah, di dalam situ juga sekaligus kita lakukan operasi yustisi kependudukan. Ketika kita mendapatkan orang tak punya KTP dan tak lapor, dia juga bisa kita pidana. Nah, kalau sudah ketemu dia punya KTP DKI, begitu kita cek ternyata KTP DKI-nya ada pemalsuan, maka kita juga membuat tuntutan pidana terhadap pemalsuan KTP. Ini yang akan kita lakukan. Jadi jauh lebih efektif. Operasi yustisi bukan cuma tangkap, bawa ke Kebon Jeruk, kasih makan, kasih apa. Tak ada lagi seperti itu.

Tapi, untuk Anda yang tinggal di hotel, Anda mau pelajar, Anda mampu bayar, ya untuk apa ditangkap.

Bagaimana dengan pandangan bahwa operasi yustisi seperti tadi diskriminatif atau melanggar HAM?

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Jumat 3 Mei 2024, dan Besok: Tengah Malam Ini Berawan

Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Jumat 3 Mei 2024, dan Besok: Tengah Malam Ini Berawan

Megapolitan
Saat Satpam Gereja di Pondok Aren Digigit Jarinya hingga Putus oleh Juru Parkir Liar…

Saat Satpam Gereja di Pondok Aren Digigit Jarinya hingga Putus oleh Juru Parkir Liar…

Megapolitan
Teka-teki yang Belum Terungkap dari Pembunuhan Wanita Dalam Koper di Cikarang

Teka-teki yang Belum Terungkap dari Pembunuhan Wanita Dalam Koper di Cikarang

Megapolitan
[POPULER JABODETABEK] RM Dibunuh, Mayatnya Dimasukkan ke Koper | Brigadir RAT Bunuh Diri Saat Jadi Pengawal Bos Tambang, tapi Atasannya Tak Tahu

[POPULER JABODETABEK] RM Dibunuh, Mayatnya Dimasukkan ke Koper | Brigadir RAT Bunuh Diri Saat Jadi Pengawal Bos Tambang, tapi Atasannya Tak Tahu

Megapolitan
Rute KA Argo Cheribon, Tarif dan Jadwalnya 2024

Rute KA Argo Cheribon, Tarif dan Jadwalnya 2024

Megapolitan
Polisi Grebek Laboratorium Narkoba di Perumahan Elite Kawasan Sentul Bogor

Polisi Grebek Laboratorium Narkoba di Perumahan Elite Kawasan Sentul Bogor

Megapolitan
Bau Sampah Terasa Menyengat di Lokbin Pasar Minggu

Bau Sampah Terasa Menyengat di Lokbin Pasar Minggu

Megapolitan
Ini Tujuan Benyamin Ikut Penjaringan Bakal Cawalkot Tangsel di Tiga Partai Rival

Ini Tujuan Benyamin Ikut Penjaringan Bakal Cawalkot Tangsel di Tiga Partai Rival

Megapolitan
Usaha Dinsos Bogor Akhiri Perjalanan Mengemis Rosmini dengan Telusuri Keberadaan Keluarga

Usaha Dinsos Bogor Akhiri Perjalanan Mengemis Rosmini dengan Telusuri Keberadaan Keluarga

Megapolitan
Pembunuh Perempuan Dalam Koper Sempat Tinggalkan Jasad Korban di Hotel

Pembunuh Perempuan Dalam Koper Sempat Tinggalkan Jasad Korban di Hotel

Megapolitan
Dipecat karena Dituduh Gelapkan Uang, Ketua RW di Kalideres: Buat Apa Saya Korupsi Kalau Datanya Lengkap

Dipecat karena Dituduh Gelapkan Uang, Ketua RW di Kalideres: Buat Apa Saya Korupsi Kalau Datanya Lengkap

Megapolitan
Sudah Sepi Pembeli, Uang Retribusi di Lokbin Pasar Minggu Naik 2 Kali Lipat

Sudah Sepi Pembeli, Uang Retribusi di Lokbin Pasar Minggu Naik 2 Kali Lipat

Megapolitan
Benyamin-Pilar Kembalikan Berkas Penjaringan Pilkada Tangsel, Demokrat Sambut dengan Nasi Kebuli

Benyamin-Pilar Kembalikan Berkas Penjaringan Pilkada Tangsel, Demokrat Sambut dengan Nasi Kebuli

Megapolitan
Sehari Berlalu, Remaja yang Tenggelam di Kali Ciliwung Belum Ditemukan

Sehari Berlalu, Remaja yang Tenggelam di Kali Ciliwung Belum Ditemukan

Megapolitan
Polisi Masih Observasi Kondisi Kejiwaan Anak yang Bacok Ibu di Cengkareng

Polisi Masih Observasi Kondisi Kejiwaan Anak yang Bacok Ibu di Cengkareng

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com