Enam orang yang diduga korban salah tangkap, dengan empat orang di antaranya sudah divonis bersalah, bukanlah kejadian pertama. Republik ini punya kisah legendaris ”Sengkon dan Karta”, dua petani yang sempat dipenjara di Lapas Cipinang dengan tuduhan pembunuhan.
Desember 2008, MA juga membebaskan Imam Hambali alias Kemat dan Devid Eko Prianto yang sebelumnya dituduh membunuh Asrori. MA membatalkan putusan PN Jombang yang menjatuhkan vonis penjara kepada Kemat dan Devid, 17 tahun dan 12 tahun penjara.
Sebelumnya, Kemat dan Devid dikenai sangkaan membunuh Asrori. Namun, munculnya perkara pembunuhan yang dilakukan Very Idam Henyansyah alias Ryan terungkap dari pengakuan Ryan bahwa Ryan pula yang membunuh Asrori.
Menurut Febi Yonesta, dalam kasus pembunuhan Dicky Maulana, pihaknya telah mengajukan banding. Febi mengeluhkan sulitnya mengungkap kebenaran karena terlalu prosedural.
Kasus salah vonis sebenarnya dapat dihindari jika penegak hukum bertindak lurus dalam memproses tersangka. Namun, dengan segala macam alasannya, kerap kali penegak hukum justru ”membelokkan” hukum.
Bagaimana meminimalkan ”salah tangkap” terlebih ketika penegak hukum dapat pengakuan setelah penyiksaan? ”Penting mengakomodasi pemeriksaan sah atau tidaknya alat bukti yang diajukan penuntut umum di dalam KUHAP. Alat bukti yang diperoleh secara melawan hukum seharusnya tak dapat diterima untuk pembuktian di persidangan,” kata Febi.
Revisi KUHAP untuk pemeriksaan alat bukti sangat penting guna mencegah jatuhnya korban salah tangkap. Jangan juga negeri ini memenjarakan orang tak bersalah. (HARYO DAMARDONO)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.