Seorang warga di Bukit Duri, awal pekan lalu, mengatakan, setelah berhari-hari rumahnya kebanjiran dan hidup di pengungsian, ia tentu bosan dengan mi instan, telur, nasi bungkus, dan pakaian yang buruk.
Banjir di Jakarta selama ini terkait erat dengan persoalan itu-itu saja. Yang paling mengundang masalah tentu saja okupasi di bantaran, bahkan badan, sungai. Tidak heran, ketika debit air sungai naik saat hujan, pelanggar hak sungai itu menerima getah perbuatannya. Di Jakarta, masalah ini menjadi masalah mahabesar karena okupasi bantaran kali terjadi di 13 sungai besar. Belum lagi jika dihitung warga yang mengokupasi tepi anak-anak sungai yang jumlahnya puluhan. Angka itu membengkak jika melihat mereka yang mendirikan tempat tinggal di atas saluran kecil hingga besar dan di lahan situ atau rawa ataupun waduk.
”Ibaratnya, semua tempat dan jalan air di Jakarta dan sekitarnya tidak ada yang steril dari tindak perampasan oleh manusia. Ini dibiarkan terus terjadi selama puluhan tahun, padahal setiap orang tahu bahwa air akan mencari jalannya saat ia membutuhkan. Sederet aturan terkait pelestarian sungai dan penataan permukiman pun sebenarnya sudah ada,” papar ahli lingkungan dari Universitas Indonesia, Tarsoen Waryono.
Di setiap tempat terjadinya penjarahan hak sungai, ekonomi terus berputar. Taufiq Des dari Komunitas Ciliwung Depok mengatakan, ia dan keluarganya dulu tinggal di kompleks perumahan di Otista, Jakarta Timur, di atas Ciliwung.
”Perumahan kami tidak pernah banjir meski dekat dengan kali. Namun, ada beberapa pekerja, seperti pembantu rumah tangga atau tukang kebun yang biasa kerja di perumahan, membuat hunian dekat kali. Waktu saya kecil, tahun 1960-an hingga 1970-an, rumah-rumah pekerja informal ini paling bisa dihitung dengan jari. Kalau air sungai naik saat hujan, mereka mengungsi ke lapangan tenis di perumahan kami,” kenang Taufiq yang kini menetap di Depok.
Tahun berlalu, rumah-rumah pekerja semakin banyak, bahkan sampai di bibir sungai. ”Sepertinya mereka ajak saudara dan tetangga-tetangga dari kampung untuk tinggal di sana. Pekerjaannya rata-rata masih informal, termasuk office boy di kantor-kantor, tukang ojek, tukang cuci, dan banyak lainnya. Jadinya sekarang yang kebanjiran makin banyak,” kata pensiunan wartawan televisi itu.
Tempat tinggal yang sebelumnya bersifat nonpermanen itu lama-lama berkembang menjadi permukiman padat yang masif.
Samsuri (58) mengatakan, ia datang ke Jakarta dan menetap di tepi Sungai Pesanggrahan tahun 1975. Awalnya, ia warga yang tidak memiliki KTP, apalagi KK, listrik pun mencuri sambungan dari perumahan resmi di kawasan yang kini masuk wilayah Kelurahan Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Dari sekadar rumah berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah tanpa sertifikat, Samsuri kini memiliki tanah seluas 100 meter persegi lebih dengan rumah tembok cukup luas di atasnya.
Setiap bulan, Samsuri membayar sedikitnya Rp 250.000 untuk tagihan listrik. Sementara Pajak Bumi dan Bangunan hanya Rp 53.000 per tahun. Iuran bulanan Rp 18.000 untuk keperluan pengangkutan sampah dan keamanan kampung pun selalu dipenuhinya.
Pesanggrahan kini tengah dalam proses normalisasi. Sebagian badan sungai telah diperlebar dan diturap. Orang-orang seperti Samsuri didata sebagai warga yang harus digusur demi normalisasi. Berbekal surat-surat yang menandakan sebagai pemilik tanah ataupun warga asli daerah itu, mereka berhak mendapatkan kompensasi memadai.
Sosiolog Robertus Robert mengatakan, solusinya adalah ketegasan serta kebijaksanaan seorang pemimpin. (NELI TRIANA)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.