Pembentukan ULP sendiri berdasarkan amanat Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Mengacu pada aturan itu, tahun 2014 ini merupakan tahun terakhir batas pembentukan ULP. DKI terbilang terlambat dibandingkan daerah lain di Indonesia, seperti Jawa Barat dan sejumlah kabupaten/kota di Jawa Timur.
Mengubah pola lelang
Mengapa baru tahun ini DKI memiliki ULP? Menurut Sony, karena memang lembaga ini tidak diinginkan kelahirannya. Kehadiran ULP mengubah pola pelelangan yang sebelumnya berjalan di masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
Kini, tidak bisa lagi sendiri-sendiri. Model pelelangan pun sudah lain, yakni dengan menggunakan sistem belanja elektronik yang lebih detail.
Saat berkunjung ke Redaksi Kompas, pekan lalu, Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama menegaskan hal itu sebagai pola baru yang memutus pola-pola manual. Pola itu tersistem dengan nama e-budgeting.
Dengan pola yang menuntut transparansi, perhitungan detail, serta argumentasi yang kuat, kuasa pengguna anggaran tidak bisa lagi menggunakan anggaran gelondongan tanpa rincian.
Mereka harus mencantumkan harga satuan, harga penawaran sementara, dan alasan mengapa mengadakan belanja itu. Hal ini dikeluhkan sejumlah pejabat mulai di tingkat kelurahan hingga pejabat eselon II.
”Jika dulu banyak pintu (lelang), sekarang cuma satu. Wajar saja pelelangan menjadi lambat,” kata Kepala Dinas Pekerjaan Umum Rudy Manggas Siahaan.
Barang baru
Di mata pejabat DKI, ULP memang barang baru karena baru disosialisasikan pada 13 Maret 2014. Sebagian dari kuasa pengguna anggaran tidak tahu di mana kantornya. ”Mengapa baru disosialisasikan sekarang, Januari sampai Februari pada ke mana saja mereka (pejabat berwenang)? Kalau begini caranya, kami jadi kelabakan menyusun perencanaan program dengan model baru,” tutur Mulyadi, Lurah Tugu Utara, Jakarta Utara.
Begitulah, lembaga baru yang bernama ULP itu menuai beragam ekspresi di kalangan pejabat yang belum terbiasa dengan paradigma keterbukaan anggaran. Ada yang kaget, ada yang gusar, bahkan bisa jadi ada pula yang nyinyir, sinis, dan pesimistis.
Pada gilirannya, penganggaran dalam tubuh Pemprov DKI Jakarta tersandera oleh iklim yang berubah ekstrem. Sejumlah program fisik yang dinanti-nanti kelanjutannya oleh masyarakat berisiko tersendat. Sebut, misalnya, pengerukan kali dan hal-hal yang berkait dengan penanganan banjir serta penanganan kebersihan. Diharapkan sikap bijak semua pemangku kewenangan atas situasi ini. (Andy Riza Hidayat)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.