Peremajaan pasar juga akan dilakukan di Tanah Abang. Lewat Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 41 Tahun 2014, area seluas 27,26 hektar di Tanah Abang akan dijadikan Sentra Primer Tanah Abang (SPTA). Di sebagian lokasi SPTA, kini sudah berdiri pasar Blok G, Blok A, dan Blok B.
Sama seperti Senen, Tanah Abang diproyeksikan menjadi kawasan terpadu antara perdagangan, hunian, dan perkantoran. Dengan begitu, wajah SPTA nanti akan berubah meskipun sebagian gedung yang ada akan tetap dipertahankan. Untuk pengembangan SPTA, Pemprov DKI Jakarta menunjuk BUMD PD Pembangunan Sarana Jaya.
Aris mengapresiasi DKI yang beberapa tahun terakhir gencar merevitalisasi pasar, tetapi sekadar gedung pasar yang berubah menjadi jangkung dan jumlah kios menjadi berkali-kali lipat banyaknya bukan tujuan peremajaan.
”Sekali lagi, kita itu butuh spesialisasi. Spesialisasi pasar tidak hanya berdasarkan apa yang menjadi ciri khas pasar tersebut selama ini, tetapi bisa diciptakan. Makanya, PD Pasar Jaya didukung pemda harus amat kreatif dan jeli melihat peluang disertai kerja keras,” katanya.
Seperti Pasar Senen yang kini terdiri dari lima blok besar. Kondisi sekarang saja terlihat tidak semua blok terisi pedagang dan tidak semua memiliki tingkat kunjungan konsumen yang tinggi. Untuk menghidupkan lima blok yang ada, Senen tidak bisa bergantung pada penjualan barang-barang terkait otomotif, pusat sablon kaus, atau bursa kue subuh semata.
Apakah tidak mungkin bursa kue subuh yang selama ini hanya menempati halaman parkir Blok III dikembangkan dalam blok khusus? Mungkin tidak hanya menjadi pusat jajanan tradisional, tetapi bisa diperkaya dengan aneka makanan dan produk terkait serta buka juga di siang dan malam hari.
Untuk kompleks Pasar Tanah Abang, Aris mengatakan, penyebab Blok G tidak didatangi konsumen karena barang yang dijual di blok ini serupa dengan di Blok A dan B. Di Blok A dan B, selain barangnya lebih banyak, lebih bervariasi, juga bisa dibeli secara eceran. Di sisi lain, ada fasilitas pendingin ruangan, eskalator, dan lift yang memanjakan konsumen.
”Mengapa tidak dibentuk saja Blok G itu khusus usaha pendukung industri garmen. Bisa jadi pusat sablon, alat jahit dan penjahit, atau hal-hal lain. Kalau tidak dibedakan dan tidak disokong penuh pengembangannya, Blok G akan terus tak dilirik,” papar Aris.
Target jelas
Terkait rencana menjadikan pasar sekaligus tempat hunian vertikal, Aris menyatakan sah-sah saja. Bahkan, perlu ada mix-used bangunan hunian, yaitu untuk kelas menengah ke bawah yang perlu disubsidi untuk sewa rumah susun hingga apartemen untuk kelas menengah hingga menengah atas. Baginya, yang penting ada aturan jelas. Apalagi, di setiap pasar besar, rata-rata sudah didukung jaringan transportasi publik serta akses jalan yang memadai.
Sebelumnya, ahli tata kota dari Universitas Tarumanegara, Suryono Herlambang, menegaskan bahwa, agar target penyediaan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah bisa tercapai, sudah ada aturan lama yang seharusnya ditaati. Menurutnya, sudah ada aturan 1:3:6, yaitu setiap ada satu rumah mewah, ada tiga rumah untuk kelas menengah dan enam rumah untuk yang berpenghasilan rendah. Ia menyarankan, dalam setiap upaya penyediaan rumah bagi masyarakat, aturan 1:3:6 tersebut diterapkan.
Kawasan Blok M dan Melawai di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, misalnya, dinilai Aris berpotensi besar dikembangkan dengan pola mix-used antara pasar, pusat perbelanjaan, dan hunian. Yang sekarang sudah dikembangkan, menurutnya, ada sedikit kegagalan, yaitu di pasar bawah tanah yang berdekatan dengan terminal bus.
Selain itu, meski sudah ada revitalisasi pasar lama menjadi pusat belanja baru, pengunjung belum juga tersedot. Pertokoan di sekitar Melawai pun banyak yang tutup atau ditinggalkan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia Ngadiran turut menyoroti kasus pasar-pasar hasil revitalisasi yang ternyata juga melompong. ”Ini karena PD Pasar Jaya dan pengembang yang bekerja sama dengannya hanya menjalankan sistem ijon. Pasar dibangun, kios dijual, dapat untung, terus dibiarkan. Padahal, untuk menghidupkan pasar, pedagang juga harus dikelola dan banyak hal perlu dilakukan untuk menarik pembeli datang,” ungkapnya.
Aris menekankan, setelah diremajakan dan menjadi sentra-sentra terpadu, penyebutan pasar tradisional sebenarnya sudah tidak signifikan lagi. Yang penting pasar itu tetap menjadi ”milik” pedagang, tidak dikuasai pemodal besar. Kemudian, ada upaya bersama instansi lain dan menggandeng swasta, misalnya agen perjalanan wisata sehingga, tercipta wisata belanja baru. ”Ini mendukung konsep pengembangan Jakarta sebagai kota jasa,” katanya. (NELI TRIANA/AGNES RITA SULISTYAWATI)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.