jalan ini sudah terlalu tua
telah dilihatnya
nasib melintasinya berulangkali
juga suara-suara yang datang dan pergi...
perdu yang pernah subur
menyemak, membelukar di kanan kirinya
telah menjelma pohon asam
mahoni
mungkin juga rasamala
siapa yang menunggu
di ujung sana?
.....
(Jalan Tua, Dedy Lutan)
Di atas adalah penggalan larik-larik puisi yang dituliskan di sebuah poster besar, tepat di atas kepala lelaki yang terbujur kaku malam itu. Dia dibaringkan di sebuah dipan berkasur, di tengah-tengah aula kecil tempat dirinya biasa melatih anak-anak didiknya menari di Dedy Lutan Dance Company (DLDC). Di tempat itu pula, dulu dia menerima saya menjelang dirinya menerima anugerah kebudayaan sebagai maestro tari, akhir tahun 2013.
Tapi malam ini, dia yang memiliki nama panggilan Dedy Lutan telah terbaring dalam diam. Pada Kamis sore (10/7) pukul 16.01, Dedy pergi menghadap Ilahi, setelah penyakit strooke menyerangnya dari tahun 2012, sepulangnya dari Lombok untuk acara Pergelaran Tari Nusantara.
Dedy meninggalkan seorang isteri dan tiga orang anak, serta dua cucu. Menikahi Elly D Lutan yang juga seorang penari dan koreografer, Dedy dikaruniai tiga anak. Mereka adalah: Panji Danan Setiawan, Satwika Galuh Wardani, dan Dimas Panji Nurfadilah. Dedy dianugerahi dua cucu: Senandung Naghmaliha Ainnayah Latifahira dan Tembang Nahmadia Zaneta Zeba.
Memandang jasadnya yang telah beku, saya pun terkenang perjumpaan saya dengannya setahun lalu. Kala itu Dedy sudah duduk di kursi roda. Tapi pada matanya, saya masih menangkap semangat hidupnya yang menyala-nyala. Dia mengaku masih ingin terus berkarya dan berkarya. Dan itu dia ungkapkan lewat kata-kata, "Kalau boleh meminta, saya ingin segera sehat kembali agar saya bisa berkarya lagi. masih banyak yang belum saya kerjakan dengan untuk tari dan negeri ini."
Pada Kamis malam itu, Elly Lutan, sang isteri, duduk di pojok, bersandar di tiang bangunan aula. Pada tiang itulah, sepasang suami isteri yang berprofesi sebagai penata tari itu biasa duduk bersandar seraya menyaksikan anggopta DLDC berlatih tari. Sebelum saya bersimpuh di samping jasad Dedy, saya sempat menghampiri Elly dan memeluknya. Lirih Elly berbisik, "Maafkan Mas Dedy, ya..."
Dedy Lutan telah pergi mendahului kita. Tapi sungguh, pada kepergiannya itu, saya mendapatkan banyak pesan dan pelajaran darinya. Pesan itu nampak benar sejak setahun lalu, saat dirinya telah terserang strooke. Dedy seperti sedang bergegas menuju rumah abadinya, dengan menyelesaikan semua pekerjaan artistiknya sebagai seorang seniman maupun sebagai seorang intelektual.
Pada akhir November, Dedy beroleh Anugerah Kebudayaan kategori "Maestro dalam Bidang Tari". Tanggal 19 Desember 2013, dia menggelar drama tari "Jalan Cintamu Tak Berujung" bertepatan dengan ultah DLDC yang ke 23 di Gedung Kesenian Jakarta. Tanggal 13 Mei, dia menggelar drama tari "Hutan Pasir Sunyi" di Kebun Raya Bogor, sebagai desertasi untuk meraih gelar doktor. Dedy lulus sebagai doktor dengan predikat cumlaude.
Dalam sakitnya, Dedy terus bersemangat. Dia seperti tak mau kehilangan kesempatan sedetik pun tanpa berkarya. Itulah sebabnya, pada kepergiannya; saya, dan juga kawan-kawan lain yang menghormatinya, seperti cerpenis Yanusa Nugroho, Sujiwo Tejo, Bujel Dipuro, dan kawan-kawan lainnya yang malam itu datang melayat, memberikan penghormatan penuh takzim kepadanya. Saya bilang ke Yanusa, bahwa kepergian Mas Dedy adalah kepergian yang sempurna. Dia pergi setelah semua pekerjaan ditunaikan dengan hasil yang sangat memuaskan.
Sungguh, Dedy membuat "iri" kami semua yang ditinggalkannya. Dia telah menyelesaikan "pertunjukan" hidupnya sedemikian sempurna dan indah, seperti halnya nomor-nomor pertunjukan hasil karyanya yang selalu mengagumkan.
***
Maka, seusai berdoa, saya pun duduk agak ke belakang, memberi kesempatan yang lain untuk berdoa. Sambil melihat beberapa poster pertunjukan di sekeliling aula, saya seperti sedang membuka halaman demi halaman buku pelajaran yang diwariskan Dedy kepada dunia tari Indonesia.