Rasanya tidak heran jika anggapan "kutu loncat" untuk Ahok akan terjungkal jika disandingkan dengan makna "kutu loncat" di kamus. Tidak heran pula rasanya, andaikata lingkungan sosial, dalam hal ini masyarakat DKI Jakarta dan lainnya, secara psikologis (alamiah) tidak menyerap penyandingan antara Ahok dan "kutu loncat".
Faktor "siapa yang berujar" mungkin bisa menjadi pertimbangan. Ingat ketika janji-janji partai lalu disebut "janji-janji manis"? Kata-katanya manis, tidak ada yang salah, tetapi lantas malah disebut "janji-janji manis" lantaran terkait dengan "siapa yang berujar" lalu seperti sudah biasa cuma jadi janji dan tidak terealisasikan.
Kata-kata "membangun desa, membangun Indonesia" tidak ada yang salah bukan? Akan tetapi, perlu dicermati mengapa kemudian masyarakat menamainya dengan "janji manis".
Akan menarik untuk diperhatikan, terkait dengan bahasa, barangkali seorang tokoh perlu melihat dulu parameter bagaimana masyarakat melihat dirinya sehingga kata, kata-kata, istilah, atau kiasan yang disampaikannya tepat guna, bukan malah berkasus seperti masyarakat, lalu memberi istilah "janji manis" untuk program partai pada masa lalu.
Parameter itu mungkin bisa diperoleh dengan cara-cara simpel. Misalnya, melihat komentar orang di media massa (tanpa pilih-pilih media massa yang mana), melihat media sosial, dan lainnya.
***
Ngomong-ngomong soal kutu loncat, entah mengapa, sulit rasanya menemukan pencinta binatang yang coba-coba memelihara kutu loncat. Barangkali, makhluk itu terlalu kecil, punya daya juang tinggi, dan individual untuk memenuhi apa yang diinginkannya.
Sekalipun jadi kutu yang loncat-loncat, kalau terlihat bagus, ya tentu kita tidak mengaitkannya sebagai kutu loncat yang berarti kiasan seperti dalam kamus. Bagaimana?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.