Menurut Sofyano, ketidaksiapan pemerintah dapat terlihat dari minimnya produksi RON 92 dari PT Pertamina. Ia mencatat, kebutuhan masyarakat pada RON 92 akan mencapai 15 juta barel per bulan dan tak akan tercukupi jika premium dihapus karena Pertamina baru mampu memproduksi 5 juta barel per bulan.
"Hitung secara cermat karena yang akan menanggung risikonya adalah masyarakat," ujarnya.
Tim Reformasi Tata Kelola Migas merekomendasikan pemerintah menghapus premium dan menyarankan Pertamina melakukan importasi bensin RON 92 atau sejenis Pertamax. Jika disetujui pemerintah, proses transisi kemungkinan tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat, dan tim akan memberikan tenggat waktu hingga lima bulan ke depan.
Ketua tim Faisal Basri menjelaskan, salah satu latar belakang rekomendasi tersebut dikeluarkan adalah formula penghitungan Harga Indeks Pasar untuk premium dan solar berdasarkan data masa lalu yang sudah relatif lama sehingga tidak mencerminkan kondisi terkini.