Inilah sepotong cerita tentang pelayanan transjakarta yang tak kunjung sesuai standar meski sudah 11 tahun beroperasi. ”Setiap bulan bisa dua sampai tiga kali saya diturunkan di halte yang bukan tujuan saya karena busnya rusak,” kata Maman, warga yang tinggal di belakang Pasar Rumput, Jakarta Selatan, ini.
Selasa (13/1/2015), misalnya, Maman diturunkan di Halte RS Premier Kampung Melayu. Bus jurusan Pusat Grosir Cililitan-Harmoni yang dia tumpangi terpaksa berhenti karena remnya rusak. Padahal, halte tujuan Maman, yakni Halte Otista Cawang, masih 2 kilometer lagi.
Raka Sandi, kernet bus bernomor lambung JMT 28, hanya memberikan penjelasan singkat ke penumpang, ”Kami mohon maaf perjalanan tak dapat dilanjutkan. Anginnya tekor, bus tidak bisa mengerem.”
Penjelasan itu tak dimengerti Maman, kecuali kata-kata bahwa bus tak bisa ngerem. ”Saya tahu bus tak bisa ngerem itu berbahaya. Tetapi, kan, saya juga tidak boleh terlambat sampai di tempat kerja,” keluhnya.
Lain lagi cerita Silmi (20). Mahasiswa kampus swasta di Jalan Jenderal Sudirman ini juga pelanggan transjakarta. Hampir setiap hari ia menggunakan transjakarta Koridor I menuju kampus.
Saat pulang, dia bisa saja menggunakan bus Koridor XII untuk menuju rumahnya di Pademangan, Jakarta Utara. Namun, waktu tunggu bus yang sangat lama membuatnya memilih naik mikrolet dari Halte Kota menuju ke rumahnya.
”Kalau nunggu (bus) yang Koridor XII bisa 30-60 menit. Terlalu lama. Jadi, saya pilih naik mikrolet saja,” ucapnya.
Lidya (30), karyawati di kawasan Slipi, Jakarta Barat, setiap hari juga menggunakan bus transjakarta dari kawasan tempat tinggalnya. Namun, tak jarang dia lebih memilih bus angkutan perbatasan terintegrasi bus transjakarta (APTB) karena bus transjakarta tak kunjung datang di Halte UKI-Cawang.
”Sebetulnya rugi menumpang APTB karena di atas bus itu saya harus bayar lagi Rp 5.000. Tetapi, dibandingkan saya terlambat sampai di kantor, lebih baik naik bus APTB,” tuturnya.
Tetap awasi
Maringan Aruan, Direktur Jakarta Mega Trans (JMT)—salah satu operator bus transjakarta—membenarkan adanya bus yang tak layak jalan dan tak diganti. ”Kalau ada bus rusak di tahun kedua kontrak, kami tidak berani mengganti. Kalau diganti bus baru, masa operasinya cuma tiga tahun dan tak ada jaminan kontrak akan diperpanjang,” ujarnya.
JMT merupakan salah satu operator bus transjakarta di Koridor V dan VII. Di Koridor V itu seharusnya ada 30 bus gandeng yang beroperasi setiap hari. Dari jumlah itu, 17 di antaranya dipasok JMT dengan bus Komodo serta bus merek Huanghai buatan Tiongkok.
Namun, dua tahun terakhir bus JMT yang siap operasi di koridor itu tinggal delapan unit.
Direktur Utama PT Transjakarta ANS Kosasih mengatakan, kebutuhan bus tahun ini sedikitnya 741 unit, termasuk untuk mengganti bus tua dan rusak. ”Kami belum tahu kapan datangnya bus-bus baru itu. Biasanya bus datang sekitar September. Kami juga tidak tahu berapa banyak bus yang bisa datang karena tergantung kecepatan produksi,” ujarnya.
Kosasih mengakui, ada persoalan kelayakan armada. ”Pilihannya, antara menjalankan bus yang tidak layak atau membiarkan penumpang tidak terangkut,” katanya.
Kondisi ini terjadi karena perawatan bus tidak prima. Untuk itu, dalam kontrak baru dia mewajibkan agen pemegang merek untuk merawat bus.
Kosasih berharap, pembaruan kontrak dengan operator akan meningkatkan pelayanan ke pengguna transjakarta.
Selain itu, Kosasih berjanji merampungkan ruang kontrol untuk memantau seluruh pergerakan bus. Pantauan dan perintah dari ruang kontrol ini diharapkan bisa menjaga waktu tunggu (headway) bus di seluruh koridor.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Benjamin Bukit menjamin pihaknya menjalankan fungsi regulator. ”Kami masih menentukan tarif per kilometer jarak tempuh untuk bus transjakarta. Kami juga akan mengawasi apakah standar pelayanan minimal sudah dipenuhi atau belum,” katanya.
Apabila standar pelayanan minimal belum diterapkan, kata Benjamin, instansinya berhak menegur PT Transportasi Jakarta. ”Kalau kinerja tak sesuai standar pelayanan minimal, kami bisa tidak memberikan dana kewajiban layanan publik (PSO),” ujarnya.
Selain waktu tunggu dan kondisi bus, sejumlah pelayanan dasar yang diamanatkan Peraturan Gubernur 35 Tahun 2014 juga dinilai belum terpenuhi. Pelayanan itu antara lain soal kemudahan perpindahan penumpang; integrasi jaringan pengumpan (feeder); dan info layanan, seperti jurusan, perpindahan koridor, dan peta di halte. Selain itu, soal akses keluar-masuk halte, kecepatan perjalanan, dan waktu berhenti di halte juga belum standar. (FRO/MDN/ART/MKN)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.