Sebidang tembok replika tersebut berdiri di Museum Taman Prasasti di Jalan Tanah Abang Nomor 1, Jakarta Pusat. Tembok aslinya berdiri di rumah Erberveld yang terletak dua rumah dari Gereja Sion di Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta Pusat. Tembok tersebut sudah musnah. Demikian pula rumah Erberveld.
Erberveld adalah anak pasangan Peter Erberveld, seorang Jerman kaya asal kota Wuppertal, Negara Bagian Nordhein-Westphalen, dengan perempuan Thailand (Windoro Adi, Batavia 1740. Menyisir Jejak Betawi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010). Peter Erberveld adalah tuan tanah dan seorang kapten kavaleri Batavia.
Laporan resmi Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) menyebutkan, Erberveld bersama Raden Kartadria berencana membunuh penduduk Belanda di Batavia pada pesta malam Tahun Baru 1722. Erberveld dituduh ingin menjadi Tuan Gusti, Kepala Kota Batavia, sedangkan Pangeran Kartadria ingin menjabat patih daerah luar kota.
Tiga hari sebelum pembunuhan dilakukan, rumah Erberveld digerebek. Erberveld, Kartadira, dan 17 pengikutnya dibunuh dengan sadis di lapangan sebelum selatan Benteng Batavia pada 22 April 1722. Beberapa hari setelah hukuman mati massal pertama dilakukan, 30 pengikut Erberveld mengalami nasib serupa.
Penulis buku Adolf Heuken SJ meragukan kebenaran tuduhan VOC terhadap Erberveld tersebut. Heuken menduga, Gubernur Jenderal VOC Zwaardecroon merekayasa kasus ini.
Kata Heuken, Zwaardecroon berusaha membeli seluruh tanah di timur Gereja Sion, termasuk tanah Erberveld. Erberveld menolak, Zwaardecroon lalu merancang fitnah dan pembunuhan terhadap Erberveld dan para pengikutnya.
Rencana pembunuhan ini tampak pada tembok peringatan tadi. Tembok tersebut didirikan pada 14 April 1722. Padahal, Erberveld dieksekusi pada 22 April 1722. Sebuah pelajaran pahitnya permainan politik di negeri ini, yang mungkin saja berulang di masa modern Indonesia.
Riemsdijk
Di sayap kiri taman prasasti tampak nisan Olivia Mariane Raffles (1814), istri Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stamford Raffles. Di depan nisan Olivia berdiri nisan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jeremias van Riemsdijk (1775-1777).
Riemsdijk adalah keponakan Gubernur Jenderal VOC Adrian Valckenier. Hubungan ini membuat karier Riesmdijk cepat menanjak.
Ia dikenal sebagai pejabat tamak yang tumbuh menjadi tuan tanah. Museum Taman Prasasti adalah salah satu lahan miliknya yang kemudian dibeli Pemerintah Hindia Belanda. Lahan seluas lima hektar tersebut kemudian dijadikan pemakaman umum bernama Kerkhof Laan mulai 28 September 1795.
Buku Batavia 1740 menyebutkan, pada 1808 Kerkhof Laan mulai kebanjiran batu nisan pindahan antara lain dari Gereja Baru Belanda (Niuw Hollandsche Kerk) dan Gereja Sion. Pemindahan dilakukan atas perintah Gubernur Jenderal Daendels yang mulai melarang penguburan jenazah di gereja atau di atas tanah pribadi.
Pada 1975, pemakaman ditutup. Di atas sebagian areal pemakaman lalu dibangun kompleks Kantor Wali Kota Jakarta Pusat. Dua tahun kemudian, tepatnya 9 Juli 1977 pemakaman yang tersisa 1,3 hektar ini dijadikan museum prasasti.
Soe Hok Gie
Beberapa batu nisan yang tersebar di bagian belakang taman prasasti antara lain adalah prasasti Kapitan Jonathan Michiels dan Miss Riboet. Jonathan adalah kapitan Mardijkers terakhir, sedangkan Miss Riboet adalah maskot kelompok sandiwara Orion (1925).
Berikutnya adalah batu nisan Soe Hok Gie. Gie, adik Sosiolog Arief Budiman ini, dikenal sebagai aktivis yang menentang kediktatoran Presiden Soekarno dan Soeharto.
Lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sejarah, UI, ini aktif menulis di media massa cetak. Pada 1965, ia ikut mendirikan Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) UI. Ia meninggal setelah menghirup gas beracun di Gunung Semeru pada 16 Desember 1969.
Pada 1983, catatan hariannya diterbitkan di bawah judul, Catatan Seorang Demonstran. Dr John Maxwell kemudian menulis buku tentang dia di bawah judul, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.
Masih puluhan cerita menarik dari balik batu nisan di Museum Taman Prasasti, bisa memikat pengunjung di sana. Sayangnya, tak satu pun batu nisan di sana dilengkapi penjelasan. Brosur dan booklet yang ada masih minim informasi. Yudi, salah seorang pemandu museum yang diandalkan di sana, pun hanya mampu menjelaskan tak lebih dari 10 cerita dari balik nisan.
Jika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mau serius menangani, Museum Taman Prasasti sebenarnya bukan hanya bisa lebih indah dan rapi daripada makam-makam Belanda, tetapi juga menjadi ruang publik yang menawan, mendidik, dan menjadi tempat tujuan wisata tak terlupakan. (WINDORO ADI)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.