Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Nisan Bertutur tentang Jakarta

Kompas.com - 23/02/2015, 14:18 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Pada sebidang tembok bercat putih tertulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Jawa: ”Sebagai kenang-kenangan yang menjijikkan akan pengkhianat Pieter Erberveld yang dihukum. Tak seorang pun sekarang atau untuk seterusnya akan diizinkan membangun, menukang, memasang batu bata atau menanam di tempat ini–Batavia 14 April 1722”.

Sebidang tembok replika tersebut berdiri di Museum Taman Prasasti di Jalan Tanah Abang Nomor 1, Jakarta Pusat. Tembok aslinya berdiri di rumah Erberveld yang terletak dua rumah dari Gereja Sion di Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta Pusat. Tembok tersebut sudah musnah. Demikian pula rumah Erberveld.

Erberveld adalah anak pasangan Peter Erberveld, seorang Jerman kaya asal kota Wuppertal, Negara Bagian Nordhein-Westphalen, dengan perempuan Thailand (Windoro Adi, Batavia 1740. Menyisir Jejak Betawi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010). Peter Erberveld adalah tuan tanah dan seorang kapten kavaleri Batavia.

Laporan resmi Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) menyebutkan, Erberveld bersama Raden Kartadria berencana membunuh penduduk Belanda di Batavia pada pesta malam Tahun Baru 1722. Erberveld dituduh ingin menjadi Tuan Gusti, Kepala Kota Batavia, sedangkan Pangeran Kartadria ingin menjabat patih daerah luar kota.

Tiga hari sebelum pembunuhan dilakukan, rumah Erberveld digerebek. Erberveld, Kartadira, dan 17 pengikutnya dibunuh dengan sadis di lapangan sebelum selatan Benteng Batavia pada 22 April 1722. Beberapa hari setelah hukuman mati massal pertama dilakukan, 30 pengikut Erberveld mengalami nasib serupa.

Penulis buku Adolf Heuken SJ meragukan kebenaran tuduhan VOC terhadap Erberveld tersebut. Heuken menduga, Gubernur Jenderal VOC Zwaardecroon merekayasa kasus ini.

Kata Heuken, Zwaardecroon berusaha membeli seluruh tanah di timur Gereja Sion, termasuk tanah Erberveld. Erberveld menolak, Zwaardecroon lalu merancang fitnah dan pembunuhan terhadap Erberveld dan para pengikutnya.

Rencana pembunuhan ini tampak pada tembok peringatan tadi. Tembok tersebut didirikan pada 14 April 1722. Padahal, Erberveld dieksekusi pada 22 April 1722. Sebuah pelajaran pahitnya permainan politik di negeri ini, yang mungkin saja berulang di masa modern Indonesia.

Riemsdijk

Di sayap kiri taman prasasti tampak nisan Olivia Mariane Raffles (1814), istri Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stamford Raffles. Di depan nisan Olivia berdiri nisan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jeremias van Riemsdijk (1775-1777).

Riemsdijk adalah keponakan Gubernur Jenderal VOC Adrian Valckenier. Hubungan ini membuat karier Riesmdijk cepat menanjak.

Ia dikenal sebagai pejabat tamak yang tumbuh menjadi tuan tanah. Museum Taman Prasasti adalah salah satu lahan miliknya yang kemudian dibeli Pemerintah Hindia Belanda. Lahan seluas lima hektar tersebut kemudian dijadikan pemakaman umum bernama Kerkhof Laan mulai 28 September 1795.

Buku Batavia 1740 menyebutkan, pada 1808 Kerkhof Laan mulai kebanjiran batu nisan pindahan antara lain dari Gereja Baru Belanda (Niuw Hollandsche Kerk) dan Gereja Sion. Pemindahan dilakukan atas perintah Gubernur Jenderal Daendels yang mulai melarang penguburan jenazah di gereja atau di atas tanah pribadi.

Pada 1975, pemakaman ditutup. Di atas sebagian areal pemakaman lalu dibangun kompleks Kantor Wali Kota Jakarta Pusat. Dua tahun kemudian, tepatnya 9 Juli 1977 pemakaman yang tersisa 1,3 hektar ini dijadikan museum prasasti.

Soe Hok Gie

Beberapa batu nisan yang tersebar di bagian belakang taman prasasti antara lain adalah prasasti Kapitan Jonathan Michiels dan Miss Riboet. Jonathan adalah kapitan Mardijkers terakhir, sedangkan Miss Riboet adalah maskot kelompok sandiwara Orion (1925).

Berikutnya adalah batu nisan Soe Hok Gie. Gie, adik Sosiolog Arief Budiman ini, dikenal sebagai aktivis yang menentang kediktatoran Presiden Soekarno dan Soeharto.

Lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sejarah, UI, ini aktif menulis di media massa cetak. Pada 1965, ia ikut mendirikan Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) UI. Ia meninggal setelah menghirup gas beracun di Gunung Semeru pada 16 Desember 1969.

Pada 1983, catatan hariannya diterbitkan di bawah judul, Catatan Seorang Demonstran. Dr John Maxwell kemudian menulis buku tentang dia di bawah judul, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Masih puluhan cerita menarik dari balik batu nisan di Museum Taman Prasasti, bisa memikat pengunjung di sana. Sayangnya, tak satu pun batu nisan di sana dilengkapi penjelasan. Brosur dan booklet yang ada masih minim informasi. Yudi, salah seorang pemandu museum yang diandalkan di sana, pun hanya mampu menjelaskan tak lebih dari 10 cerita dari balik nisan.

Jika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mau serius menangani, Museum Taman Prasasti sebenarnya bukan hanya bisa lebih indah dan rapi daripada makam-makam Belanda, tetapi juga menjadi ruang publik yang menawan, mendidik, dan menjadi tempat tujuan wisata tak terlupakan. (WINDORO ADI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dijanjikan Komisi dari 'Like' dan 'Subscribe' Youtube, Korban Ditipu Rp 800 Juta

Dijanjikan Komisi dari "Like" dan "Subscribe" Youtube, Korban Ditipu Rp 800 Juta

Megapolitan
Dua Penipu Modus 'Like' dan 'Subscribe Youtube Ditangkap, Dikendalikan WNI di Kamboja

Dua Penipu Modus "Like" dan "Subscribe Youtube Ditangkap, Dikendalikan WNI di Kamboja

Megapolitan
[POPULER JABODETABEK] Kehadiran Marshel di Pilkada Tangsel Dianggap Muluskan Kemenangan Benyamin Pilar | Akhir Pelarian Ketua Panitia Konser Lentera Festival

[POPULER JABODETABEK] Kehadiran Marshel di Pilkada Tangsel Dianggap Muluskan Kemenangan Benyamin Pilar | Akhir Pelarian Ketua Panitia Konser Lentera Festival

Megapolitan
WNI di Kamboja Jadi Dalang Penipuan 'Like' dan 'Subscribe' Youtube di Indonesia

WNI di Kamboja Jadi Dalang Penipuan "Like" dan "Subscribe" Youtube di Indonesia

Megapolitan
Penolakan Tapera Terus Menggema, Buruh dan Mahasiswa Kompak Gelar Unjuk Rasa

Penolakan Tapera Terus Menggema, Buruh dan Mahasiswa Kompak Gelar Unjuk Rasa

Megapolitan
Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Jumat 28 Juni 2024 dan Besok: Tengah Malam ini Berawan

Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Jumat 28 Juni 2024 dan Besok: Tengah Malam ini Berawan

Megapolitan
Rombongan Tiga Mobil Sempat Tak Bayar Makan di Resto Depok, Ini Alasannya

Rombongan Tiga Mobil Sempat Tak Bayar Makan di Resto Depok, Ini Alasannya

Megapolitan
Pemkot Jaksel Diminta Tindak Tegas Dua Restoran di Melawai yang Dianggap Sebabkan Kegaduhan

Pemkot Jaksel Diminta Tindak Tegas Dua Restoran di Melawai yang Dianggap Sebabkan Kegaduhan

Megapolitan
Rekayasa Lalu Lintas Diterapkan di Sejumlah Jalan Jaksel Imbas Pembangunan Drainase

Rekayasa Lalu Lintas Diterapkan di Sejumlah Jalan Jaksel Imbas Pembangunan Drainase

Megapolitan
Pemkot Jaksel Sidak Dua Restoran di Melawai yang Dikeluhkan Warga Sebabkan Parkir Liar

Pemkot Jaksel Sidak Dua Restoran di Melawai yang Dikeluhkan Warga Sebabkan Parkir Liar

Megapolitan
Senangnya Laim, Tak Perlu Lagi Timba Air 40 Liter di Sumur Tua Hutan Setiap Hari

Senangnya Laim, Tak Perlu Lagi Timba Air 40 Liter di Sumur Tua Hutan Setiap Hari

Megapolitan
Kesaksian Jemaat soal Perselisihan Penggunaan Gereja di Cawang yang Berujung Bentrok

Kesaksian Jemaat soal Perselisihan Penggunaan Gereja di Cawang yang Berujung Bentrok

Megapolitan
Terkait PPDB di Jakarta, Disdik DKI Diminta Evaluasi Kuota dan Jangkauan Jalur Zonasi

Terkait PPDB di Jakarta, Disdik DKI Diminta Evaluasi Kuota dan Jangkauan Jalur Zonasi

Megapolitan
PPDB 'Online' Diklaim Efektif Cegah Adanya 'Siswa Titipan'

PPDB "Online" Diklaim Efektif Cegah Adanya "Siswa Titipan"

Megapolitan
Putusan Bawaslu: Dharma Pongrekun-Kun Wardana Boleh Perbaiki Berkas Pencalonan Pilkada Jakarta

Putusan Bawaslu: Dharma Pongrekun-Kun Wardana Boleh Perbaiki Berkas Pencalonan Pilkada Jakarta

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com