Melihat hal itu, Alex berlari menghampiri dan menyelamatkan patung Dewi Kwan Im dan dua patung Buddha. Enam patung Buddha lainnya tak bisa ia selamatkan. Ia cuma termangu melihat lidah-lidah api menari di antara patung-patung tersebut.
Peristiwa itu terjadi Senin (2/3) pukul 03.30. Alex mengatakan, lilin dan dupa di wihara tersebut menyala sepanjang hari. Demikian pula Senin dini hari tersebut. Ia menduga, api bersumber dari salah satu lilin setinggi 1,5 meter yang jatuh.
"Jarak antara api lilin dan plafon menjadi rendah setelah tahun lalu lantai wihara ditinggikan. Lantai ditinggikan untuk menghindari banjir," kata Alex.
Di luar, puluhan warga yang berniat membantu memadamkan api tak bisa berbuat apa-apa karena pintu-pintu masuk terkunci rapat sampai api akhirnya menghanguskan hampir seluruh ruang utama ibadah.
Menurut Hengky, koordinator keamanan wihara, api mulai mengamuk tak terkendali sekitar pukul 04.00. "Tiba-tiba sebagian besar atap ruang ibadah utama berderak-derak berjatuhan," ujarnya.
Tertua
Claudine Salmon dan Denys Lombard dalam bukunya, Klenteng-Klenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta (Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2003) menyebutkan, Wihara Dharma Bhakti atau Kelenteng Jin De Yuan (Buddhis) adalah satu dari dua wihara tertua di Jakarta. Wihara satunya adalah Kelenteng Ancol (Taois) di Jakarta Utara. Kedua wihara itu dibangun sekitar 1650.
Konon, kelenteng ini didirikan seorang letnan dan dinamai Jin De Yuan oleh seorang kapitan pada 1755. Wihara Dharma Bhakti terletak di sebelah barat daya di luar tembok kota Batavia saat itu.
Pada abad ke-18, sekitar 18 biksu tinggal di sana. Kala itu, tulis Salmon dan Lombard, kelenteng ini menjadi kelenteng kesayangan para petinggi Tionghoa di Batavia. Sejumlah mayor (atasan seorang kapitan dalam sistem pemerintahan sipil di Batavia) sering menyumbangkan dana pemeliharaan dan pemugaran tempat ibadah ini.
Karena Jin De Yuan merupakan kelenteng Buddhis, semua orang yang datang untuk berdoa diterima tanpa pandang bulu. Sikap ini mengukuhkan kedudukan kelenteng ini sebagai kelenteng utama bagi masyarakat Tionghoa di Batavia.
Evaluasi
Arkeolog dan Ketua Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta Candrian Attahiyat, yang ditemui di wihara, kemarin, menyesalkan tidak adanya fasilitas perlindungan gedung-gedung cagar budaya dari bencana, seperti kebakaran, banjir, gempa, huru-hara, dan pencurian.
"Bukan hanya wihara ini, juga di banyak gedung cagar budaya penting lain di Jakarta yang tidak mendapat fasilitas perlindungan," ujarnya. Ia berjanji membawa masalah ini ke sidang Pemugaran Budaya dan Gedung DKI Jakarta, Selasa ini.
"Saya akan mendesak Pemprov DKI menerbitkan peraturan yang lebih rinci dan membantu menyediakan fasilitasnya," kata Candrian.