Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terminal Pulogadung "Filter" Keruwetan

Kompas.com - 13/07/2015, 18:18 WIB

Hal itu tidak bisa dihindari karena pada era 1970-an satu-satunya terminal bus yang ada di Jakarta hanya Terminal Lapangan Banteng di Jakarta Pusat. Dengan demikian, seluruh bus antarkota dari berbagai daerah yang masuk ke Jakarta harus melalui pusat kota.

Kondisi itulah yang mendorong Pemprov DKI Jakarta membangun terminal bus AKAP di pinggiran Jakarta, yang kemudian dikenal sebagai Terminal Pulogadung.

Menurut Kepala DLLAJR DKI P Harahap, kala itu Terminal Pulogadung, dikenal sebagai anak Terminal Lapangan Banteng di sisi timur Jakarta. Sementara Terminal Grogol di wilayah Barat Jakarta masih dalam perencanaan. Terminal ini direncanakan untuk menampung bus antarkota dari daerah barat Jakarta, seperti Merak, yang volume busnya lebih kecil.

Proyek pembangunan Terminal Pulogadung ini awalnya juga tidak berlangsung mulus. Realisasi proyek ini juga sempat terganjal alotnya proses pembebasan lahan meski proyek itu dinilai strategis. Pada September 1975, di tengah hiruk-pikuk arus mudik Lebaran, Pemerintah DKI Jakarta digugat lima warga yang tempat tinggalnya terkena proyek Terminal Pulogadung.

Mereka menggugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Jakarta Timur karena tempat tinggal mereka dibongkar paksa tanpa ganti rugi.

Pembangunan proyek Terminal Pulogadung yang memakan waktu 9 bulan ini akhirnya dioperasikan pada Mei 1976. Terminal ini melayani bus antarkota dari Jawa Barat sampai Jawa Timur. Sementara Terminal Grogol untuk menampung bus antarkota dari Banten dan Sumatera via Pelabuhan Merak. Adapun Terminal Bus Cililitan melayani perjalanan bus antarkota dari selatan Jakarta.

Beroperasinya tiga terminal antarkota itu memberikan dampak terhadap kelancaran lalu lintas di Jakarta. Setidaknya 3.000 bus antarkota tidak lagi masuk ke tengah kota Jakarta, melainkan sudah terjaring di Terminal Pulogadung, Terminal Grogol, dan Cililitan.

Hingga saat ini, hanya Terminal Pulogadung yang tetap bertahan sebagai terminal bus antarkota yang cukup sibuk. Kepala Unit Pelaksana Teknis Terminal DKI, Dinas Perhubungan DKI, Muslim, Minggu (12/7), menyampaikan, pembangunan terminal bus antarkota di Jakarta tak lepas dari perkembangan kota dan arus urbanisasi.

Perilaku masyarakat enggan masuk ke dalam terminal juga bukan hal yang baru. Pada Agustus 1976, Kompas memperoleh surat pembaca yang mengeluhkan kebijakan Pemerintah DKI mewajibkan penumpang naik bus antarkota di dalam Terminal Pulogadung. Alasannya karena untuk menjangkau terminal cukup jauh, dan di dalam terminal rawan kejahatan. Hal serupa diungkapkan sejumlah penumpang bus antarkota saat ini yang lebih memilih naik bus dari pinggir jalan.

Sukarman (45), salah satu warga urban asal Purwakarta, Jawa Barat, lebih menyukai naik bus dari pinggir jalan karena lebih aman. "Kalau masuk terminal, pasti dicegat calo. Parahnya lagi bisa digendam," kata Sukarman, yang bekerja sebagai kuli bangunan di Jakarta.

Kepala Terminal Pulogadung Simon Ginting pun tak menampik, kejahatan konvensional masih terjadi di dalam Terminal Pulogadung, mulai dari pencopetan, gendam, hingga pemerasan oleh calo tiket.

"Sekarang yang sudah dapat dikendalikan adalah perilaku calo menarik-narik calon penumpang. Itu sudah dapat ditertibkan," kata Simon. (B05)

---------------

Artikel ini sebelumnya ditayangkan di harian Kompas edisi Senin, 13 Juli 2015, dengan judul "Terminal Pulogadung "Filter" Keruwetan".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Heru Budi Pastikan Pasien TBC yang Bukan KTP DKI Bisa Berobat di Jakarta

Heru Budi Pastikan Pasien TBC yang Bukan KTP DKI Bisa Berobat di Jakarta

Megapolitan
Warga Bekasi Tertabrak Kereta di Pelintasan Bungur Kemayoran

Warga Bekasi Tertabrak Kereta di Pelintasan Bungur Kemayoran

Megapolitan
Faktor Ekonomi Jadi Alasan Pria 50 Tahun di Jaksel Nekat Edarkan Narkoba

Faktor Ekonomi Jadi Alasan Pria 50 Tahun di Jaksel Nekat Edarkan Narkoba

Megapolitan
Keluarga Taruna yang Tewas Dianiaya Senior Minta STIP Ditutup

Keluarga Taruna yang Tewas Dianiaya Senior Minta STIP Ditutup

Megapolitan
UU DKJ Amanatkan 5 Persen APBD untuk Kelurahan, Heru Budi Singgung Penanganan TBC

UU DKJ Amanatkan 5 Persen APBD untuk Kelurahan, Heru Budi Singgung Penanganan TBC

Megapolitan
Pria 50 Tahun Diiming-imingi Rp 1,8 Juta untuk Edarkan Narkoba di Jaksel

Pria 50 Tahun Diiming-imingi Rp 1,8 Juta untuk Edarkan Narkoba di Jaksel

Megapolitan
Polisi Temukan 488 Gram Sabu Saat Gerebek Rumah Kos di Jaksel

Polisi Temukan 488 Gram Sabu Saat Gerebek Rumah Kos di Jaksel

Megapolitan
KPU: Mantan Gubernur Tak Bisa Maju Jadi Cawagub di Daerah yang Sama pada Pilkada 2024

KPU: Mantan Gubernur Tak Bisa Maju Jadi Cawagub di Daerah yang Sama pada Pilkada 2024

Megapolitan
Heru Budi Sebut Pemprov DKI Bakal Beri Pekerjaan ke Jukir Liar Minimarket yang Ditertibkan

Heru Budi Sebut Pemprov DKI Bakal Beri Pekerjaan ke Jukir Liar Minimarket yang Ditertibkan

Megapolitan
Heru Budi Sebut Pemprov DKI Jakarta Mulai Tertibkan Jukir Liar Minimarket

Heru Budi Sebut Pemprov DKI Jakarta Mulai Tertibkan Jukir Liar Minimarket

Megapolitan
Rute KA Tegal Bahari, Tarif dan Jadwalnya 2024

Rute KA Tegal Bahari, Tarif dan Jadwalnya 2024

Megapolitan
20 Pelajar SMA Diamankan Polisi akibat Tawuran di Bangbarung Bogor

20 Pelajar SMA Diamankan Polisi akibat Tawuran di Bangbarung Bogor

Megapolitan
Jakarta Utara Macet Total sejak Subuh Buntut Trailer Terbalik di Clincing

Jakarta Utara Macet Total sejak Subuh Buntut Trailer Terbalik di Clincing

Megapolitan
Polisi Periksa 36 Saksi Kasus Tewasnya Taruna STIP di Tangan Senior

Polisi Periksa 36 Saksi Kasus Tewasnya Taruna STIP di Tangan Senior

Megapolitan
Ngerinya Kekerasan Berlatar Arogansi Senioritas di STIP, Tradisi yang Tak Benar-benar Hilang

Ngerinya Kekerasan Berlatar Arogansi Senioritas di STIP, Tradisi yang Tak Benar-benar Hilang

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com