Hal itu tidak bisa dihindari karena pada era 1970-an satu-satunya terminal bus yang ada di Jakarta hanya Terminal Lapangan Banteng di Jakarta Pusat. Dengan demikian, seluruh bus antarkota dari berbagai daerah yang masuk ke Jakarta harus melalui pusat kota.
Kondisi itulah yang mendorong Pemprov DKI Jakarta membangun terminal bus AKAP di pinggiran Jakarta, yang kemudian dikenal sebagai Terminal Pulogadung.
Menurut Kepala DLLAJR DKI P Harahap, kala itu Terminal Pulogadung, dikenal sebagai anak Terminal Lapangan Banteng di sisi timur Jakarta. Sementara Terminal Grogol di wilayah Barat Jakarta masih dalam perencanaan. Terminal ini direncanakan untuk menampung bus antarkota dari daerah barat Jakarta, seperti Merak, yang volume busnya lebih kecil.
Proyek pembangunan Terminal Pulogadung ini awalnya juga tidak berlangsung mulus. Realisasi proyek ini juga sempat terganjal alotnya proses pembebasan lahan meski proyek itu dinilai strategis. Pada September 1975, di tengah hiruk-pikuk arus mudik Lebaran, Pemerintah DKI Jakarta digugat lima warga yang tempat tinggalnya terkena proyek Terminal Pulogadung.
Mereka menggugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Jakarta Timur karena tempat tinggal mereka dibongkar paksa tanpa ganti rugi.
Pembangunan proyek Terminal Pulogadung yang memakan waktu 9 bulan ini akhirnya dioperasikan pada Mei 1976. Terminal ini melayani bus antarkota dari Jawa Barat sampai Jawa Timur. Sementara Terminal Grogol untuk menampung bus antarkota dari Banten dan Sumatera via Pelabuhan Merak. Adapun Terminal Bus Cililitan melayani perjalanan bus antarkota dari selatan Jakarta.
Beroperasinya tiga terminal antarkota itu memberikan dampak terhadap kelancaran lalu lintas di Jakarta. Setidaknya 3.000 bus antarkota tidak lagi masuk ke tengah kota Jakarta, melainkan sudah terjaring di Terminal Pulogadung, Terminal Grogol, dan Cililitan.
Hingga saat ini, hanya Terminal Pulogadung yang tetap bertahan sebagai terminal bus antarkota yang cukup sibuk. Kepala Unit Pelaksana Teknis Terminal DKI, Dinas Perhubungan DKI, Muslim, Minggu (12/7), menyampaikan, pembangunan terminal bus antarkota di Jakarta tak lepas dari perkembangan kota dan arus urbanisasi.
Perilaku masyarakat enggan masuk ke dalam terminal juga bukan hal yang baru. Pada Agustus 1976, Kompas memperoleh surat pembaca yang mengeluhkan kebijakan Pemerintah DKI mewajibkan penumpang naik bus antarkota di dalam Terminal Pulogadung. Alasannya karena untuk menjangkau terminal cukup jauh, dan di dalam terminal rawan kejahatan. Hal serupa diungkapkan sejumlah penumpang bus antarkota saat ini yang lebih memilih naik bus dari pinggir jalan.
Sukarman (45), salah satu warga urban asal Purwakarta, Jawa Barat, lebih menyukai naik bus dari pinggir jalan karena lebih aman. "Kalau masuk terminal, pasti dicegat calo. Parahnya lagi bisa digendam," kata Sukarman, yang bekerja sebagai kuli bangunan di Jakarta.
Kepala Terminal Pulogadung Simon Ginting pun tak menampik, kejahatan konvensional masih terjadi di dalam Terminal Pulogadung, mulai dari pencopetan, gendam, hingga pemerasan oleh calo tiket.
"Sekarang yang sudah dapat dikendalikan adalah perilaku calo menarik-narik calon penumpang. Itu sudah dapat ditertibkan," kata Simon. (B05)
---------------
Artikel ini sebelumnya ditayangkan di harian Kompas edisi Senin, 13 Juli 2015, dengan judul "Terminal Pulogadung "Filter" Keruwetan".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.