Kerangka kultural
Menanggapi langkah Gubernur Basuki yang merelokasi ribuan orang di kawasan kumuh bantaran sungai di Jakarta untuk proyek normalisasi sungai, Aboutaleb mengatakan, pada prinsipnya program pencegahan banjir memang bukan perkara mudah.
"Pengalaman kami (di Rotterdam) tidak sama. Tetapi (pada dasarnya), solusi soal itu tidak pernah mudah. Jika situasinya kompleks, solusinya pun kompleks. Bukan seperti persamaan matematika dengan satu variabel, melainkan banyak persamaan dengan banyak variabel.
Ini melibatkan perencanaan tata ruang, manajemen air, perumahan, pengumpulan sampah. Orang masih membuang sampah di sungai, itu menjadi masalah lain, persoalan mentalitas dan pendidikan.
Dan, memang memindahkan orang dari bantaran sungai ke lokasi lain juga bagian dari masalah itu. Itu perlu diselesaikan dalam (kerangka) aspek kultural di negara Anda. Bagaimana menangani mereka, bagaimana berbicara dengan mereka, bagaimana memotivasi warga untuk pindah ke lokasi lain agar tercipta ruang lebih banyak (bagi sungai).
Salah satu konsep yang kami punyai di Belanda adalah program yang kami sebut "Beri Ruang untuk Sungai". Artinya, sejumlah desa di negara kami tak diizinkan menetapkan tambahan area untuk perumahan, ada batasannya. Dan, regulasi ini terkait erat dengan filosofi perencanaan tata ruang.
Jadi, semua hal ini saling terkait, termasuk terkait dengan kebijakan sosial (social policy) dengan penghasilan masyarakat. Orang tinggal di sana (bantaran sungai) karena penghasilannya rendah. Anda tak bisa begitu saja memindahkan mereka karena mereka butuh rumah dan mereka tak punya uang untuk beli rumah dan sebagainya. Jadi, ini perlu dipecahkan dalam gabungan berbagai proses yang dikoordinasikan bersama."
Jadi, masyarakat perlu dilibatkan dalam keseluruhan proses ini?
"Anda tak bisa melakukan ini semua tanpa keterlibatan masyarakat. Saya menyebutnya sebagai 'proses kreasi bersama (co-creation process)'. Kreasi bersama dengan seluruh warga dan kalangan bisnis.
Saya saat ini tengah mengerjakan sebuah proyek di Rotterdam dan saya meminta warga yang mengajukan rencana mereka sendiri. Saya hanya menetapkan batas waktu 1 November dan anggarannya tidak boleh melebihi 7 juta euro.
Ini proyek untuk meningkatkan kualitas hidup di lingkungan warga sendiri, apakah itu untuk menurunkan kriminalitas atau menambah ruang terbuka hijau, semua terserah warga.
Gagasannya untuk memobilisasi warga dan memberi mereka sedikit kekuasaan untuk menentukan hal-hal yang berkaitan dengan pembentukan lingkungan mereka sendiri. Jadi, mereka harus membuat pilihan. Mereka biasanya mengkritik pemerintah. Sekarang, mereka yang memutuskan sendiri." (DAHONO FITRIANTO)
________________________________
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Agustus 2015, di halaman 26 dengan judul "Tak Ada Solusi Mudah untuk Mengatasi Banjir".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.