Padahal, jarak antara Waduk Jatiluhur dengan Jakarta sekitar 100 kilometer. Direktur Teknis PAM Jaya Hendri Limbong mengatakan bukan hal mudah untuk menjaga kualitas air tersebut setelah melalui perjalanan panjang menuju Jakarta.
"Perjalanannya tergantung bagaimana interkoneksi sungai bisa baik sehingga tetap bisa menjaga kualitas dan kuantitas air," ujar Limbong di Jatiluhur, Purwakarta, Selasa (29/9/2015).
Sebab, bukan hanya kualitas air saja yang harus dijaga. Akan tetapi, kuantitas air yang sampai ke Jakarta juga harus dijaga.
Direktur Operasional PT Aetra Lintong Hutasoit menjelaskan secara umum, aliran air dari Waduk Jatiluhur harus melewati tiga sungai dan tiga bendungan terlebih dahulu untuk sampai ke Jakarta. (Baca: Ketika Air Berlimpah di Tengah Musim Kemarau...)
Di antaranya Sungai Cibeet dengan Bendungan Cibeetnya, Sungai Cikarang dengan Bendungan Cikarangnya, dan Sungai Bekasi dengan Bendungan Bekasinya.
Dulu, PT Aertra sempat berkesimpulan bahwa hambatan terjadi ketika air memasuki Sungai Bekasi. Kandungan air seperti mangan dan amonia mulai tidak memenuhi standar.
Akan tetapi, belakangan PT Aertra menyadari kondisi serupa juga sudah terjadi sejak di Sungai Cibeet. Pertanyaannya, kenapa?
"Ternyata ini murni masalah alam. Kalau musim kering, alam keluarkan Fe dan Mangan lebih banyak. Ini berarti persoalan yang dari alam karena hujan tidak turun," ujar Lintong.
Melancarkan perjalanan 100 kilometer
Lintong mengatakan, saat ini kualitas dan kuantitas air yang dikirim dari Waduk Jatiluhur ke Jakarta semakin terjaga. Salah satu faktornya berkat sifon-sifon yang telah dibangun di sepanjang sungai.
"Setelah sifon dibangun, kualitas air pun membaik," ujar Lintong. Sehingga, air bisa mengalir ke tiga Instalasi Pengolahan Air (IPA) milik PT Aertra sebelum dipasok ke masyarakat.
Selain itu, adapula teknologi decanter yang bisa memisahkan air dengan lumpur-lumpur. Pasokan air yang mencukupi dari Waduk Jatiluhur serta kualitas air yang terjaga saat di perjalanannya membuat warga Jakarta puas dengan pelayanan ini.
Hal ini terlihat pada indeks keluhan yang dimiliki oleh PT Aertra. "Walau el nino, Jakarta tidak kekurangan air, itu semua karena Waduk Jatiluhur. Keluhan pelanggan selama ini biasanya seputar air mati dan air kecil. Tetapi keluhan itu cenderung menurun. Sekalipun musim kemarau, tidak ada masalah," ujar Lintong.
Air itu mahal
Dengan semua ini, Lintong meminta masyarakat untuk memahami bahwa air yang mengalir di rumah-rumah mereka telah melewati serangkaian proses serta perjalanan jauh. Semuanya dengan menggunakan teknologi yang tidak murah.
Setelah air dari Waduk Jatiluhur sampai ke Jakarta, masih ada serangkaian proses pendistribusian lagi. Proses mahal tersebut dipersembahkan untuk warga Jakarta.
"Air baku kita tidak didapat dengan gratis," ujar Lintong. Akan tetapi, Lintong melihat masyarakat masih belum memahami itu.
Mereka masih berpikir bahwa air tiba-tiba mengalir ke rumah mereka. Tanpa tahu ada serangkaian proses yang harus dilewati. Apalagi, harga air yang harus dibayar masyarakat tergolong murah yaitu hanya Rp 3 per liter.
"Maksud saya, sebetulnya dengan lihat prosesnya tadi, tidak patut dong Rp 3 per liter. Sekarang pembantu kita kalau beli pulsa saja bisa beli puluhan ribu rupiah," ujar Lintong.
Lintong berharap dengan ini masyarakat bisa memahami mahalnya air. Sehingga, mereka tidak lagi boros dalam menggunakannya.
Meski pasokan air dari Waduk Jatiluhur masih berlimpah, kata Lintong, sebaiknya masyarakat tetap harus berhemat. "Yang harus kita pikirkan adalah air itu bukan barang gratis," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.