JAKARTA, KOMPAS.com — Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri memaparkan poin-poin kejanggalan yang disertakan sebagai bukti saat melaporkan dugaan pelanggaran kode etik Kepala BPK DKI, EDN, Rabu (11/11/2015).
EDN dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Kode Etik BPK RI karena diduga menggunakan jabatannya memanfaatkan tanah sengketa di TPU Pondok Kelapa, Jakarta Timur, untuk mengeruk keuntungan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI.
"Pertanyaannya, kenapa EDN berani mengambil risiko beli tanah 9.618 meter persegi, padahal tanah itu masih sengketa. Pemprov DKI juga sudah klaim tanah di sana aset mereka. Kenapa tanah itu baru dibeli, beberapa bulan kemudian dijual lagi ke Pemprov DKI?" kata Febri kepada pewarta, Rabu siang.
EDN membeli tanah yang berlokasi di tengah area TPU Pondok Kelapa pada tahun 2005. Tanah itu dibeli dari tiga orang pemilik bidang tanah yang merupakan warga di sana.
Sejak dia beli, EDN menawarkan tanahnya itu agar dibeli oleh Pemprov DKI. Penawaran dilakukan dengan bersurat sampai enam kali hingga tahun 2013, tetapi tidak direspons oleh Pemprov DKI.
Setelah tidak ditanggapi, EDN bersurat ke kepala BPK DKI saat itu agar mengusut sengketa tanah di sana. (Baca: Ahok Pertanyakan Kredibilitas Kepala BPK DKI)
Poin kejanggalan berikutnya, Febri mempertanyakan dasar alasan EDN yang dalam waktu singkat menawarkan tanah miliknya supaya bisa dibeli Pemprov DKI.
Poin ini mencakup isi surat penawaran yang dikirim enam kali oleh EDN.
"Kan dipertanyakan, apa tujuan EDN membeli tanah tersebut? Apakah untuk meraih keuntungan dengan memanfaatkan kedudukan sebagai pemeriksa BPK waktu itu?" tutur Febri.
Kejanggalan terakhir adalah soal dana EDN untuk membeli tanah di sana. Berdasarkan hitung-hitungan sederhana, jika NJOP tahun 2005 sebesar Rp 500.000 per meter persegi, EDN butuh Rp 4,9 miliar untuk membeli tanah tersebut. (Baca: ICW: Laporan terhadap Kepala BPK DKI Tak Ada Hubungan dengan Ahok)
"Apakah EDN memiliki dana sebesar itu dengan pendapatannya sebagai pemeriksa BPK RI? Nilai NJOP tahun 2011 Rp 1,5 per meter persegi, nilai tanahnya bisa jadi sekitar Rp 15,4 miliar. Apakah EDN melaporkan tanah ini sebagai aset tidak bergerak ke KPK? ujar Febri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.