Kebijakan itu adalah penghapusan beroperasinya bus jemputan bagi PNS DKI.
Fasilitas bus jemputan ini dimulai sejak masa pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Soerjadi Soedirdja. Fasilitas ini diberikan untuk memudahkan para PNS DKI mencapai kantornya, baik di Balai Kota maupun kantor wali kota.
Hanya satu rute yang disediakan untuk PNS yang bertempat tinggal di Jakarta, yakni Pondok Kelapa. Sementara bus-bus lainnya mengantarkan para PNS hingga Depok, Bogor, Bekasi, dan Tangerang.
Banyak PNS menikmati fasilitas bus jemputan. Selain menghemat biaya, bus jemputan itu menghemat waktu dan tenaga para pegawai.
Namun, kenyamanan puluhan tahun ini diubah oleh Basuki.
Berawal dari aduan "mata-mata", Basuki berniat mengalihkan bus jemputan menjadi angkutan umum.
Basuki mendapat laporan, PNS muda kerap mengalami perundungan (bully) di dalam bus. Perundungan yang dimaksud Basuki adalah kursi-kursi di dalam bus "sudah berpenghuni".
"Sekarang kami tanya sama PNS ya, ini namanya ngelunjak, betul-betul ngelunjak sekarang saya bilang. Tanya sama PNS muda, bisa naik enggak? Di-bully lho di dalam bus sama yang sudah duduk, merasa kursinya punya dia," kata Basuki, di Balai Kota, Jumat (22/1/2016).
Kesalahan kedua adalah adanya iuran bulanan yang nilainya berkisar Rp 50.000 hingga Rp 100.000. Bahkan Basuki menengarai ada bus yang menarik penumpang dari warga umum dan dimintai uang.
Adanya bus jemputan ini juga menghambat kinerja PNS DKI. Beberapa PNS DKI, kata dia, menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat demi tidak tertinggal bus.
"Kalau ada atasan minta bawahannya ikut rapat, pasti alasannya, 'Mohon maaf, Pak, Bu, busnya sudah nunggu nih, sudah mau berangkat'. Jadi selalu alasan tidak mau kerja lagi karena busnya akan berangkat. Jadi seolah-olah bus ini lebih penting dibanding pekerjaan," kata Basuki.