KOMPAS.com - Silakan meninggalkan Kalijodo dengan damai, atau melawan dan kami jerat dengan pasal pidana.
Pesan tersebut bergaung kuat di kawasan tempat hiburan malam yang terbentang mulai dari sebagian Kelurahan Pejagalan, Penjaringan, Jakarta Utara, sampai sebagian Kelurahan Angke, Tambora, Jakarta Barat.
Sejak 15 Februari, satu demi satu pekerja seks komersial (PSK) meninggalkan tempat-tempat hiburan malam di kawasan itu.
Jumat pekan lalu, tinggal segelintir PSK terlihat di sana. Pada 17 Februari, warga Kalijodo mulai mendaftar untuk dipindahkan ke rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di Pulo Gebang, Jakarta Timur, dan Marunda, Jakarta Utara.
Wali Kota Jakarta Utara Rustam Effendi dan Wali Kota Jakarta Barat Anas Efendi pun menjamin warga bakal kebagian unit rusunawa, dengan catatan mereka bukan penyewa rumah di Kalijodo, melainkan pemilik rumah.
"Setelah verifikasi kami perketat, warga Angke yang berhak mendapat unit rusunawa tinggal 86 kepala keluarga (KK)," kata Anas, Senin (22/2).
Sementara menurut Rustam, ada 200 KK warga Pejagalan yang berhak mendapat unit rusunawa. "Kini 200 KK itu masih kami verifikasi. Angkanya mungkin bisa berkurang," ujar Rustam, kemarin.
Sepanjang akhir pekan lalu, para pemilik dan pengelola tempat hiburan malam di Kalijodo, termasuk para karyawan mereka, mulai mengemasi barang-barang untuk pindah.
Pragmatis, oportunistis
Mengapa para PSK dan pengelola tempat hiburan malam dengan mudah meninggalkan "otoritas informal" di Kalijodo?
Mengapa mereka tak memilih bersama-sama melawan rencana penggusuran oleh Pemprov DKI?
Bukankah kawasan lampu merah ini punya riwayat panjang di bawah kendali para pemimpin dunia hitam?
Menurut Tan Hok Liang (59) alias Anton Medan, otoritas informal Kalijodo beserta jajarannya dengan para pemilik-pengelola rumah-rumah hiburan malam beserta para PSK adalah dua hal yang terpisah.
"Yang berasal dari dunia hitam itu, kan, otoritas informal di sana bersama para pengikutnya. Mereka yang mengumpulkan sumber-sumber uang dan mendistribusikan uang tersebut," tutur bekas perampok dan penjudi yang pernah memiliki bisnis judi di Kalijodo tahun 1989-1991 itu.
Para pemilik-pengelola rumah hiburan dan PSK, lanjut Anton, cuma menjadi pelaku bisnis saja di Kalijodo.
Selama otoritas informal mampu menjamin keamanan bisnis, mereka akan terus membuka usaha di sana.
Namun, ketika jaminan itu hilang, mereka dengan mudah akan pergi dan mencari lokasi baru yang lebih menguntungkan.
"Jadi, jangan bayangkan bahwa kawasan merah ini memiliki struktur dan sistem sosial yang dibangun serta diatur kokoh oleh segelintir elite dunia hitam, seperti dugaan para pengamat sosial sebelumnya," tutur Anton.
Warga setempat yang hanya mendapat remah rezeki dari dua kelompok ini pun, lanjutnya, tak mau menjadi bagian dari otoritas informal Kalijodo.
Terhadap mereka yang masih bersikeras, polisi menjerat mereka dengan pasal-pasal pidana tentang kepemilikan senjata api, senjata tajam, narkoba, dan perdagangan orang.
"Jeratan pasal kami batasi pada persoalan penyakit masyarakat saja. Kami belum sampai pada kemungkinan penggelapan pajak dan pencucian uang," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Mohammad Iqbal.
(WINDORO ADI)
---
Artikel ini sebelumnya ditayangkan di harian Kompas edisi Selasa, 23 Februari 2016, dengan judul "Mengurai Benang Kusut di Kalijodo"