Padahal, 3.084 bus atau 93,5 persen dari total 3.295 bus ukuran sedang di DKI Jakarta berumur lebih dari 10 tahun atau dibuat sebelum tahun 2005. Mayoritas Metromini. Sisanya, empat operator bus sedang lain, yakni Kopaja, Kopami, Dian Mitra, dan Koantas Bima, juga menghadapi masalah serupa.
Sampai Kamis (25/2), baru Kopaja yang tercatat di Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah sebagai penyedia jasa angkutan. Pencatatan itu menjadi prasyarat untuk memenuhi rekomendasi Pemerintah Provinsi DKI, yakni bergabung dengan PT Transportasi Jakarta (Transjakarta), badan usaha milik DKI Jakarta di bidang transportasi.
Para pemilik bus menghadapi dua pilihan sulit, yakni berubah atau mati. Namun, sulit bagi Metromini memenuhi tuntutan itu karena kisruh berkepanjangan di tubuh organisasi. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mendorong para pemilik Metromini bergabung ke perusahaan lain yang siap atau membentuk badan usaha baru. Namun, rekomendasi itu tidak mudah.
Bobrok
Metromini S640 bernomor polisi B 7282 DG mendadak mogok di tengah jalan yang padat di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Selasa (23/2) siang. Andi (45), sang sopir, kalang kabut diteror bunyi klakson dari belakang. Dia berusaha menempelkan dua ujung kabel yang mencuat di dekat kemudi. Sesaat kemudian, "Ck ck ck. breeemmm!" Mesin pun hidup.
Bus jurusan Pasar Minggu-Tanah Abang itu melaju lagi, meliuk-liuk ke kanan dan kiri, mencari celah untuk mendahului kendaraan lain. Sambil menjepit rokok, tangan kanan Andi menunjuk-nunjuk ke atas setiap ada orang berdiri di pinggir jalan, tanda penawaran kepada calon penumpang.
Kaca-kaca bus buatan tahun 1996 itu gemeretak. Pintunya terpental-pental saat laju bus bertambah kencang. Lantai bergetar hebat meski bus sedang melintas di aspal mulus. Udara kabin panas dan penumpang mengandalkan kipas tangan.
Siang itu, Andi sendirian. Ia menjalankan tugas ganda, sopir sekaligus kondektur, katanya demi hasil yang lebih besar. Saat ada penumpang turun, ia menepikan bus, bersiap dengan sekotak uang recehan. "Kalau jalan sendiri, lumayan bisa dapat Rp 300.000 sehari setelah dipotong setoran Rp 250.000. Saya masih mending bisa jalan, sopir (Metromini) lain banyak yang menganggur," ujarnya.
Dua bulan terakhir, situasi memang sulit bagi sopir, kondektur, ataupun pemilik bus Metromini. Razia rutin tim gabungan Dinas Perhubungan DKI Jakarta dan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya membuat mereka surut. Petugas tak memberi ampun untuk kendaraan yang habis masa berlaku kir, izin trayek, atau dianggap tidak layak jalan.
Satu saja syarat tidak terpenuhi, petugas segera memberikan sanksi. Jika sopir melanggar lalu lintas, tidak punya atau habis masa berlaku surat izin mengemudinya, atau mati surat tanda nomor kendaraannya, petugas melayangkan surat tilang. Namun, jika bus habis masa berlaku kir atau izin operasinya, petugas akan mengandangkan dan melarangnya berkeliaran di jalanan.
Tak hanya itu, Pemprov DKI juga tak lagi memperpanjang izin operasi kendaraan umum berusia lebih dari 10 tahun. Dasarnya, Pasal 151 Peraturan Daerah DKI Jakarta 5 Tahun 2014 tentang Transportasi.
Bagi Andi, juga ribuan sopir, kondektur, dan pemilik bus Metromini, aturan yang diberlakukan sejak 1 Januari 2016 itu seperti "peluit kematian". Tinggal menunggu waktu saja.
Tanpa toleransi
Di ruang rapat Dinas Perhubungan DKI Jakarta di Jatibaru, Jakarta Pusat, Selasa (2/2) lalu, Ketua Forum Komunikasi Pemilik Metromini Rimhot P Siagian memohon dinas perhubungan agar melepaskan bus-bus yang dikandangkan selama razia. Sebab, sampai akhir tahun lalu, 1.600 bus atau separuh lebih populasi Metromini dicabut izin trayeknya atau dikandangkan karena beragam sebab. "Sopir, kondektur, dan para pemilik bus tidak bisa menafkahi keluarga lagi karena tidak ada penghasilan," ujarnya.