Biro Ketertiban Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencatat, jumlah becak di Jakarta diperkirakan tinggal 5.000 unit menjelang penghapusan tahun 1979. Namun, sejak tahun 1980, jumlah becak terus bertambah, terutama dari timur dan barat Jakarta, hingga mencapai 55.000 unit.
Pada 1 Februari 1983, Gubernur DKI R Soeprapto mengeluarkan Surat Keputusan No 127/1983? yang antara lain mengatur pendaftaran becak di seluruh wilayah DKI Jakarta melalui kelurahan serta registrasi ulang becak resmi oleh dinas pajak. Hasil pendaftaran mencatat 39.552 becak, terdiri dari 7.828 becak resmi dan 31.724 becak liar atau tidak terdaftar.
Pada 1984, Soeprapto menetapkan Jakarta bebas becak tanggal 1 Januari 1985. Pada 1985, untuk pertama kali 5.000 becak hasil sitaan dibuang ke Teluk Jakarta untuk dijadikan rumpon atau rumah ikan.
Seolah tak pernah cukup, aturan demi aturan ditebitkan untuk menghapus becak di Jakarta. Pada 1988, misalnya, pemerintah menerbitkan Perda No 11/1988 yang melarang operasi becak di jaringan jalan DKI Jakarta.
Akan tetapi, bukannya musnah, becak masih saja "keluyuran" di jalanan Jakarta. Pada 24 Juni 1998, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso bahkan memberi izin secara lisan pengoperasian becak di wilayah permukiman karena alasan krisis ekonomi. Izin itu hanya berlaku beberapa hari karena gubernur mencabutnya pada 30 Juni 1998. Meskipun hanya berlaku beberapa hari, akibat izin itu diperkirakan ada 1.500 becak masuk dari pinggiran ke wilayah Jakarta.
Riwayat becak juga tidak lepas dari kasus gugatan ribuan tukang becak kepada Gubernur DKI Sutiyoso. Pada 31 Juli 2000, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan gugatan tukang becak. Intinya pengadilan memperbolehkan tukang becak beroperasi di permukiman dan pasar. Namun, meski kalah di pengadilan, Gubernur DKI bertekad merazia becak berdasarkan Perda No 11/1988 yang melarang becak sebagai angkutan umum.
Pengganti yang gagal
Dalam kurun kurang dari setengah abad sejak kedatangannya, becak mendominasi angkutan di Jakarta. Namun, kemajuan teknologi dan pertimbangan kemanusiaan menuntut modernisasi angkutan umum. Timbullah bemo, betor, helicak, minicar, dan bajaj.
Tahun 1971, pemerintah menjajaki kerja sama dengan pabrikan Jepang, terkait rencana mencari pengganti becak. Lalu, lahirlah bemo, becak mobil, yang juga beroda tiga. Namun, bukannya habis berganti bemo, becak justru merajalela.
Bemo dianggap gagal total. Penyebabnya, antara lain, karena nilai setoran yang jauh lebih tinggi sebagai akibat mahalnya harga dan ongkos pemeliharaan bemo. Bemo dianggap tidak menggantikan becak yang multifungsi, tidak efisien untuk jarak dekat, dan tidak bisa masuk ke gang-gang sempit.
Lalu muncul helicak, helikopter becak, karena bentuknya mirip kokpit helikopter. Bentuknya separuh skuter Lambretta, separuh lagi adalah tempat duduk untuk dua penumpang. Bagian penumpang ini disebut mirip kokpit helikopter Bell-47G buatan Amerika Serikat (Kompas, 19 Juli 1971).
Akan tetapi, seperti halnya bemo, helicak memiliki kelemahan yang sama sebagai "penantang" becak. Oleh karena itu, sejak awal kemunculannya, sejumlah pihak menyangsikan masa depan helicak. Helicak akhirnya punah.
Mukhamad Kurniawan dan Saiful Rijal Yunus/Harian Kompas
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Maret 2016, di halaman 27 dengan judul "Setengah Abad Kontroversi".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.