JAKARTA, KOMPAS.com - Keberadaan penyedia jasa transportasi online menimbulkan polemik. Apakah perlu merevisi regulasi yang ada selama ini?
Regulasi yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang selama ini digunakan sebagai alasan pengemudi angkutan umum konvensional memprotes penyedia jasa transportasi online.
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menjelaskan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tidak melarang dan tidak bertentangan dengan aplikasi online yang jadi produk perusahaan penyedia jasa tersebut.
Juga tidak ada poin dalam undang-undang itu yang mengatur tentang proses bisnis transportasi online.
"UU 22/2009 tidak mengatur proses bisnis, tidak atur soal reservasi, sehingga tidak perlu direvisi," kata Jonan melalui akun Facebook miliknya, Rabu (23/3/2016).
Jonan menilai, justru dari undang-undang yang ada dan pengembangan aplikasi untuk transportasi online, bisa berjalan beriringan dan saling mendukung satu sama lain. Hingga titik akhir yang ingin dicapai adalah persaingan yang sehat di antara angkutan umum berbasis aplikasi dengan angkutan umum konvensional.
"Persaingan sehat bagus untuk konsumen. Masyarakat bisa pilih yang paling efisien," tutur Jonan.
Permasalahan antara angkutan umum berbasis aplikasi dengan yang konvensional terletak pada status kendaraan yang digunakan. Status kendaraan dalam angkutan berbasis aplikasi masih belum jelas, apakah sama dengan angkutan umum pelat kuning lainnya, atau berstatus kendaraan sewa.
Jika kendaraan sewa, maka sah-sah saja berpelat hitam. Namun, tetap harus ada standar yang diikuti oleh perusahaan transportasi online, seperti uji berkala kendaraan setiap enam bulan, memastikan pengemudi punya SIM A umum, dan ketentuan lainnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.