Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Iqrak Sulhin
Dosen Kriminologi UI

Dosen Tetap Departemen Kriminologi UI, untuk subjek Penologi, Kriminologi Teoritis, dan Kebijakan Kriminal.

Pembunuhan dan "Framing" Media

Kompas.com - 29/03/2016, 15:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Dalam dua bulan terakhir, media massa seperti tidak habis-habisnya membahas sangkaan pembunuhan yang dilakukan oleh Jessica terhadap Mirna. Hal yang menarik bagi saya justru bukan pada mengapa dan bagaimana pembunuhan itu terjadi tetapi pada bagaimana kasus itu diberitakan atau diperbincangkan.

Berbagai penelitian memperlihatkan, pembunuhan adalah bentuk kejahatan yang paling menarik perhatian media massa. Bad news is good news, mungkin begitulah pembunuhan dilihat dalam konteks nilai berita.

Tulisan ini mencoba menjelaskan secara singkat bagaimana konstruksi media terhadap pembunuhan dan apa implikasi sosialnya.

Pembunuhan adalah bentuk kejahatan kekerasan yang cenderung disebabkan oleh persoalan interpersonal. Sederhananya, pembunuhan terjadi karena adanya sengketa personal di antara pelaku dan korban, seperti dendam karena hinaan, masalah hutang piutang, perebutan harta, perselisihan dalam pekerjaan, hingga masalah percintaan.

Kejahatan ini masuk dalam kategori yang serius karena menghilangkan sesuatu yang dinilai paling berharga bagi diri manusia, yaitu kehidupannya.

Pembunuhan pun turut memberikan dampak terhadap keluarga atau masyarakat. Kedua hal ini pulalah yang semakin membuat pembunuhan sangat “menarik” untuk diberitakan.

Namun demikian, memberitakan pembunuhan tidak sama dengan menjelaskannya secara mendalam dalam sebuah penelitian ilmiah. Bila penelitian disusun dengan keharusan metodologis yang jelas dan handal, tidak demikian dengan pemberitaan.

Pemberitaan cenderung merubah fenomena empiris menjadi fenomena yang sangat berbeda di dalam teks, audio, visual, dan audio visual. Sulit untuk menerima berita sebagai realitas empiris.

Media massa merepresentasi sesuatu dalam sebuah ‘frame’. Hal mana akan berdampak pada berbedanya peristiwa sebenarnya dengan apa yang dibaca, didengar atau ditonton. Bila proses framing terjadi secara tidak proporsional, maka publik akan dihadapkan pada beberapa dampak.

Pertama, pemberitaan dapat menciptakan perbedaan makna kejahatan di masyarakat. Media dapat menganggap suatu kejahatan masuk dalam kategori sangat serius sementara masyarakat atau bahkan penegak hukum menilai sebaliknya.

Fiona Brookman dalam bukunya Understanding Homicide (2005) menjelaskan bahwa pembunuhan adalah sebuah kejahatan yang maknanya dikonstruksi secara sosial. Dalam hal ini juga dilakukan oleh media.

Jarang ada yang menganggap kematian akibat pencemaran pabrik adalah sebuah pembunuhan. Namun akan berbeda bila media memberitakannya secara terus menerus dengan frame pencemaran adalah pembunuhan.

Berbagai kasus ‘begal’ yang terjadi tahun 2015 lalu dapat menjadi contoh. Secara statistik, mengacu pada data Polda Metro Jaya, sebenarnya angka kejahatan pencurian dengan kekerasan di Jakarta justru memperlihatkan kecenderungan menurun pada kisaran 9% setiap tahun sejak 2013. Dengan kata lain, berdasarkan data, ‘begal’ belum dapat dikatakan semakin mengkhawatirkan.

Barry Mitchell (1998) juga menjelaskan hal serupa. Menurutnya, persepsi publik yang keliru terhadap pemberitaan pembunuhan di media terjadi karena media tidak memberikan informasi yang cukup dan bahkan tidak tepat tentang peristiwanya.

Opini terbentuk tanpa pengetahuan substantif tentang kejahatan pembunuhan itu sendiri. Realitas media tidak cukup memberikan gambaran dan pemahaman yang akurat. Selain itu, kecenderungan media selalu mengarah pada respon punitif terhadap kejahatan pembunuhan yang diberitakan.

Kedua, amplifikasi kejahatan di media massa dapat berdampak pada munculnya ketakutan akan kejahatan (fear of crime). Di satu sisi, fear of crime dapat bermakna rasional ketika ketakutan akan membentuk kewaspadaan.

Namun di sisi lain, ketakutan merupakan respon yang tidak beralasan, dan ini terbentuk dari pemberitaan yang tidak proporsional dari media massa. Secara statistik rendah, namun karena diberitakan berulang-ulang dengan ‘frame’ yang dramatis, seperti “Begal Makin Mengancam”, publik menjadi irrasional.

Saya menduga, penghakiman massa yang dilakukan oleh masyarakat terhadap anggota begal yang tertangkap disebabkan oleh fear of crime ini.

Saya sendiri cukup sering dihubungi oleh kawan-kawan reporter dan dimintai pendapat sebagai kriminolog. Pertanyaan yang kadang disampaikan kawan-kawan adalah “mengapa fenomena ini kembali meningkat?”.

Pertanyaan tersebut sudah merupakan sebuah ‘framing’, padahal berdasarkan data tidak bisa dikatakan meningkat. Dalam konteks pembunuhan, ‘frame’ “semakin meningkat” sering ditanyakan bila dalam waktu yang tidak terlalu jauh terjadi beberapa pembunuhan.

Ketiga, media dapat mendramatisasi kejahatan menjadi sesuatu layaknya sinetron atau telenovela. Kasus Mirna dalam pandangan saya sedang berhadapan dengan dampak yang ketiga ini, dengan berbagai spekulasi yang muncul di seputaran kasus ini.

Bila mengacu pada tulisan Lizzie Seal, Women, Murder and Femininity: gender representations of women who kill (2010), pembunuhan yang dilakukan seorang perempuan dinilai lebih mengganggu atau menggelisahkan.

Hal ini tidak dapat dilepaskan dari budaya masyarakat yang patriarkis. Menurutnya, kekerasan adalah atribut bagi maskulinitas sehingga pembunuhan yang dilakukan oleh seorang perempuan melanggar norma femininitas seperti lebih bersifat mengasuh, lembut, dan patuh.

Perempuan yang membunuh, dalam cara pandang patriarkis, merusak pembedaan gender antara maskulinitas dan femininitas yang telah dibentuk budaya.

Pemahaman yang kurang terhadap realitas suatu kasus pembunuhan membuat media sering terjebat pada aspek dramatisnya. Dalam konteks koran, tulisan dari Moira Peelo, et.al (2004) menjelaskan, media tidak dirancang untuk menghasilkan pesan yang jelas mengenai pembunuhan.

Peran media tidak mendidik atau memberikan informasi secara akurat, namun lebih untuk menjual korannya agar laku. Hal ini menjelaskan mengapa memberitakan pembunuhan, berikut dramanya, adalah sesuatu yang sangat menjual.

Sementara di lain pihak media merupakan kontributor yang kuat terhadap pengetahuan dan kesadaran publik mengenai kejahatan. Dapat dibayangkan, kemungkinan terjadinya pemahaman yang salah tentang apa sebenarnya pembunuhan itu dari sisi keilmuan (baik psikologi maupun kriminologis).

Masih mengenai dramatisasi pembunuhan, Lizzie Seal, menambahkan ‘melodrama’ adalah frame pilihan media dalam membentuk cerita, yang cenderung memainkan emosi. Pemberitaan justru mengajak publik untuk larut dalam amarah atau kebencian. Hal mana menjadi masalah bila ternyata yang dituduh membunuh bukan pelaku sebenarnya.

Selain itu, ‘the gothic genre’ juga sering menjadi pilihan, ketika pembunuh akan dicirikan sebagai monster. Frame ini cenderung digunakan untuk perempuan yang membunuh, karena dianggap melawan sifat femininitas yang dikonstruksi oleh budaya.

Rasanya bila ditanyakan kepada redaksi media, tentu akan membantah pernyataan di atas, meskipun saya kira tidak untuk seluruhnya.

Media massa adalah bisnis, sehingga aspek dramatis dari sebuah peristiwa akan dilihat sebagai sesuatu yang juga penting selain substansinya. Kemasan juga penting dalam hal ini. Bila tidak dikemas menarik, siapa yang akan tertarik membaca atau menonton.

Perubahan ke arah online media turut mendorong pemikiran ke arah tidak hanya pentingnya kemasan, namun juga soal kecepatan. Sejatinya, peran media massa adalah agen sosialisasi sekunder, namun di saat yang sama juga merupakan bisnis yang berorientasi pada keuntungan.

Iklan di media online akan datang bila banyak yang mengakses laman berita, demikian pula dengan media lainnya.

Bila dilihat dari sisi masyarakat, pemberitaan tentang kejahatan, khususnya kejahatan jalanan, akan memberi manfaat dengan terbentuknya kewaspadaan. Namun hal ini dapat dicapai bila media memberitakan secara proporsional.

Dalam konteks pembunuhan, pemberitaan media mungkin tidak memberi manfaat sama sekali dalam konteks pencegahan mengingat sifat interpersonal dari kejahatan kekerasan ini. Namun media perlu menyadari bahwa pemberitaan dapat membentuk persepsi yang tidak proporsional di publik tentang pembunuhan.

Dua penelitian doktoral di Universitas Indonesia oleh Fadil Imran (2014) dan Vinita Susanti (2015) memperlihatkan bahwa pembunuhan oleh perempuan dapat pula terjadi karena pelaku sejatinya telah menjadi korban kekerasan domestik yang dilakukan oleh korban (biasanya suami).

Pemahaman yang lebih mendalam seperti ini diperlukan untuk membentuk persepsi publik secara proporsional. Tidak justru terjebak pada dramatisasi perempuan pelaku pembunuhan.

Terlepas dari bagaimana kegeraman publik terhadap sangkaan pembunuhan yang dilakukan oleh Jessica, media massa seharusnya memahami batas dari pemberitaan, seperti tidak justru masuk ke dalam berbagai spekulasi diseputar kasus.

Hal ini penting disadari karena benar atau tidaknya pembunuhan tersebut dilakukan oleh Jessica, sebagai tersangka dirinya berhak untuk dianggap tidak salah terlebih dahulu sebelum putusan tetap dari pengadilan.

Dari sisi penegakan hukum, pemberitaan secara positif dapat berperan sebagai kekuatan pendorong agar dilakukannya pencegahan atau penegakan hukum.

Pemberitaan dua kasus pembunuhan yang dilakukan terhadap anak perempuan NF (9) di Kalideres dan sebelumnya Angeline (8) seharusnya dapat berperan tidak hanya mendorong penegakan hukum bagi pelaku, namun juga memberi edukasi kepada publik mengenai perlindungan anak.

Hanya saja, untuk menjalankan fungsi ini, mungkin masing-masing media perlu secara rutin memberikan pembekalan kepada reporter/jurnalis tentang bagaimana memberitakan kejahatan secara proporsional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kasus Kriminal di Depok Naik, dari Pencurian Guling hingga Bocah SMP Dibegal

Kasus Kriminal di Depok Naik, dari Pencurian Guling hingga Bocah SMP Dibegal

Megapolitan
Pemprov DKI Bakal Bangun 2 SPKL Tahun Ini, Salah Satunya di Balai Kota

Pemprov DKI Bakal Bangun 2 SPKL Tahun Ini, Salah Satunya di Balai Kota

Megapolitan
Pedagang Pigura di Bekasi Bakal Jual 1.000 Pasang Foto Prabowo-Gibran

Pedagang Pigura di Bekasi Bakal Jual 1.000 Pasang Foto Prabowo-Gibran

Megapolitan
Ketika Pemprov DKI Seolah Tak Percaya Ada Perkampungan Kumuh Dekat Istana Negara...

Ketika Pemprov DKI Seolah Tak Percaya Ada Perkampungan Kumuh Dekat Istana Negara...

Megapolitan
Pedagang Pigura di Bekasi Patok Harga Foto Prabowo-Gibran mulai Rp 150.000

Pedagang Pigura di Bekasi Patok Harga Foto Prabowo-Gibran mulai Rp 150.000

Megapolitan
Upaya PKS Lanjutkan Hegemoni Kemenangan 5 Periode Berturut-turut pada Pilkada Depok

Upaya PKS Lanjutkan Hegemoni Kemenangan 5 Periode Berturut-turut pada Pilkada Depok

Megapolitan
PKS Bakal Gaet Suara Anak Muda untuk Bisa Menang Lagi pada Pilkada Depok 2024

PKS Bakal Gaet Suara Anak Muda untuk Bisa Menang Lagi pada Pilkada Depok 2024

Megapolitan
Golkar: Elektabilitas Bukan Jadi Indikator Utama untuk Pilih Cagub DKI

Golkar: Elektabilitas Bukan Jadi Indikator Utama untuk Pilih Cagub DKI

Megapolitan
Polisi Periksa 13 Saksi dalam Kasus Anggota Polisi yang Tembak Kepalanya Sendiri

Polisi Periksa 13 Saksi dalam Kasus Anggota Polisi yang Tembak Kepalanya Sendiri

Megapolitan
Nestapa Agus, Tak Dapat Bantuan Pemerintah dan Hanya Andalkan Uang Rp 100.000 untuk Hidup Sebulan

Nestapa Agus, Tak Dapat Bantuan Pemerintah dan Hanya Andalkan Uang Rp 100.000 untuk Hidup Sebulan

Megapolitan
Ogah Bayar Rp 5.000, Preman di Jatinegara Rusak Gerobak Tukang Bubur

Ogah Bayar Rp 5.000, Preman di Jatinegara Rusak Gerobak Tukang Bubur

Megapolitan
Kapolres Jaksel: Brigadir RAT Diduga Bunuh Diri karena Ada Masalah Pribadi

Kapolres Jaksel: Brigadir RAT Diduga Bunuh Diri karena Ada Masalah Pribadi

Megapolitan
Polisi: Mobil Alphard yang Digunakan Brigadir RAT Saat Bunuh Diri Milik Kerabatnya

Polisi: Mobil Alphard yang Digunakan Brigadir RAT Saat Bunuh Diri Milik Kerabatnya

Megapolitan
Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Sabtu 27 April 2024, dan Besok: Siang ini Hujan Ringan

Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Sabtu 27 April 2024, dan Besok: Siang ini Hujan Ringan

Megapolitan
[POPULER JABODETABEK] Warga yang 'Numpang' KTP Jakarta Protes NIK-nya Dinonaktifkan | Polisi Sita Senpi dan Alat Seks dari Pria yang Cekoki Remaja hingga Tewas

[POPULER JABODETABEK] Warga yang "Numpang" KTP Jakarta Protes NIK-nya Dinonaktifkan | Polisi Sita Senpi dan Alat Seks dari Pria yang Cekoki Remaja hingga Tewas

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com