Seorang nenek memegang kuat-kuat topi di kepalanya. Hembusan angin hampir menerbangkan topinya, saat sedang menyeberang jalan di sebelah utara kota Incheon, Korea Selatan. Di penghujung April lalu, hembusan angin kencang sering datang tiba-tiba mengiringi hawa dingin yang menyelimuti Korea Selatan.
Melalui taman yang menjadi perlintasan orang-orang yang ingin menuju stasiun kereta, sang nenek masih memegangi topinya. Sang nenek menemui teman-temannya yang sudah menunggu di taman, sambil tertawa-tawa mengamatinya yang hampir kehilangan topi yang melindungi kepalanya dari sergapan hawa dingin.
Lewat Stasiun Unseo, yang berada di ujung taman, warga Incheon dan sekitarnya biasanya bergerak menuju kota-kota lain, termasuk ibukota negara Seoul. Hampir satu jam di kereta, melalui delapan perhentian, pasti akan melihat laut dan gunung berdampingan. Sambil sesekali melihat puluhan truk dan alat berat pengangkut pasir berada di atas tanah kasar warna putih, coklat muda, dan krem.
Alat berat dan truk itu, sedang mereklamasi laut yang kegiatannya bisa dilihat langsung sejak dari stasiun Unseo sampai lima stasiun berikutnya. Tak ada perahu nelayan ditambatkan, kecuali sesekali terlihat ada di tengah laut.
Kota Incheon yang berbatasan dengan Seoul, mengalami penambahan luas daratan pada awal 1990. Daratan yang ditambah membentuk Pulau Yeongjong, tempat bandara internasional Incheon dan berbagai infrastruktur turisme dan pemukiman penduduk dibangun.
Yeongjong adalah daratan tambahan di sebelah Barat kota Incheon, yang belum ada sampai awal tahun 2000. Pembangunannya memakan waktu delapan tahun sambil diuji selama setahun lebih. Yang dimaksud diuji adalah apakah tanah di daratan baru itu sudah kuat menahan gedung-gedung yang berdiri diatasnya. Paling tidak informasi ini yang saya dapatkan dari manajer hotel tempat saya menginap.
Soal perahu di tengah laut? Manajer hotel yang asal Seoul itu bilang, mereka bukan nelayan, karena daerah itu awalnya memang bukan pemukiman maupun tempat nelayan cari makan. Hanya saja, di pulau sebelahnya, memang ada pemukiman nelayan dan tempat nelayan cari makan.
Produk-produk nelayan itu yang dijual di Komplek Perikanan Incheon, yang jadi salah satu penarik minat wisatawan di Daerah Ekonomi Khusus Incheon. Maklum, oleh Seoul—alias pemerintah pusat Korea Selatan, Incheon memang disulap jadi daerah semi wisata, dengan hotel sampai lapangan golf menghampar.
Lebih dari lima puluh hotel di kota ini, yang menawarkan para pelancong ke Korea Selatan yang ingin “harga miring” dengan kondisi hanya sepuluh menit menuju bandara. Ada juga layanan pijat dan spa bagi yang ingin tubuhnya ingin dimanjakan. Tapi jangan berharap gemerlap kota ini seperti Seoul.
Meski tak segemerlap Seoul, raut wajah warga yang saya temui ceria dan gembira. Apalagi hiburan alat permainan tersedia di mesin-mesin permainan yang banyak terdapat di trotoar jalan yang lebar. Sekelompok anak muda dan orang tua bermain sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.
Sejenak mampir ke Singapura yang sekitar dua jam perjalanan lewat udara dari Indonesia. Di Singapura, sepuluh tahun lalu baru saja membangun Universal Studios di Pulau Sentosa.
Dua negara ini contoh dari beberapa negara yang sukses membangun pulau buatan. Berbeda dengan kedua negeri ini, yang telah banyak membangun pulau buatan dan masih membangun, di Indonesia, reklamasi jadi kontroversi.
************
Rabu akhir Mei 2016 lalu, para penggugat reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta bergembira. Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara memenangkan para nelayan dan lembaga bantuan hukum yang menggugat pembangunan pulau di atas laut di bibir sebelah utara Jakarta itu.