JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Biro Hukumnya menyatakan, penerbitan sertifikat lahan harus dilakukan sesuai proseur. Salah satu prosedurnya adalah diawali dengan proses pengukuran langsung di lokasi.
Hal itu pula yang diharapkan dilakukan saat Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Barat menerbitkan sertifikat lahan yang kini disengketakan di Cengkareng Barat, Jakarta Barat.
Kasubbag Bantuan Hukum Biro Hukum DKI Jakarta Haratua Purba mengatakan, selain proses pengukuran, tahap yang harus dilakukan sebelum penerbitan sertifikat adalah menanyakan pihak-pihak yang ada di sekitar lahan.
"Harus ditanya di kanan, kiri, depan, belakang, benar enggak ini punya si ini (yang mengajukan pembuatan sertifikat)," kata Haratua kepada Kompas.com, di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (13/7/2016).
BPN Jakbar diketahui telah menerbitkan sertifikat lahan yang kini disengketakan di Cengkareng Barat atas nama salah seorang warga bernama Toeti Noeziar Soekarno.
Di sisi lain, lahan tersebut juga diketahui terdata milik Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan.
Menurut Haratua, dalam sudut pandang Pemprov DKI lahan seluas 4,6 hektar itu adalah lahan milik Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan yang belum disertifikatkan.
"Punya DKI, cuma belum ada sertifikat. Kenapa akhirnya BPN mengeluarkan sertifikat atas nama pihak lain? Ya harus ditanya ke BPN," ujar dia.
Lahan sengketa di Cengkareng Barat adalah lahan yang pada awalnya dibeli oleh Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintahan dari Toeti. Lahan yang dibeli seharga Rp 668 miliar pada 2015 itu pada awalnya ingin diperuntukan untuk rumah susun.
Namun, dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), diketahui bahwa lahan tersebut juga terdata milik Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan DKI Jakarta.
Oleh karena itu, BPK menilai ada indikasi kerugian negara saat proses pembelian lahan oleh Dinas Perumahan. Kasus sengketa lahannya sendiri saat ini tengah bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Beberapa waktu lalu, Kepala BPN Jakbar Sumanto menilai proses pembuatan sertifikat lahan kepada Toeti sudah sesuai prosedur. Ia kemudian menjelaskan terkait pengumuman kehilangan girik yang pernah dilakukan Toeti.
Sumanto mengatakan, saat surat girik hilang, Toeti sudah mendapatkan surat pernyataan kehilangan dari pihak kepolisian. Selanjutnya, dari surat pengantar tersebut, Toeti mengajukan pembuatan sertifikat baru dari girik yang sebelumnya hilang.
"Sudah Sesuai prosedur. Tapi bukan hanya satu saja, semua sertifikat kami proses, SOP-nya sama begitu juga dengan persyaratan."
"Untuk Toeti, ya sesuai proseslah penerbitannya. Kalau tidak sesuai proses ya tidak bisa terbit," ujar Sumanto saat ditemui Kompas.com di Kantor BPN Jakarta Barat, Jumat (1/7/2016).
Sumanto menjelaskan, setelah Toeti mengajukan permintaan untuk pembuatan sertifikat, pihaknya langsung mengumumkan permintaan itu ke surat kabar. Dalam hal ini, BPN menggunakan surat kabar "Rakyat Merdeka".
Pengumuman itu, kata Sumanto, untuk menjelaskan apakah ada pihak yang keberatan terkait pembuatan sertifikat dari lahan yang diklaim milik Toeti.
"Ada (pengumuman di media), ini kan milik adat (girik), punya adat ini diumumkan di koran selama satu bulan. Sudah diumumkan dong (pembuatan sertifikat Toeti). Kalau misalkan milik adat diumumkan satu bulan."
"Kalau mengumumkan itu kewajiban BPN. Isinya, 'Sehubungan dengan pengumuman ini siapa saja yang merasa komplein ..' misalnya kamu ajukan sertifikat, nanti saya umukan itu, ini girik di lokasi di mana, ada orang lain keberatan ada tidak? Kalau misalnya ada yang keberatan ya kami kaji lebih dalam lagi. Itu punya Toeti selama dua bulan diumukan di koran tidak ada komplein," ujar Sumanto.