Penyebabnya adalah kondisi kawasan ini dan berbagai faktor yang melingkupinya.
”Kalau kita melihat aliran-aliran sungai ini, sebenarnya Jakarta memang kota sungai dulu sampai sekarang. Dengan melihat kondisi ini, harus kita sadari bagaimana kita mengadaptasi dengan lingkungan sekitar ini,” kata Restu saat menjadi narasumber pada diskusi ”Jakarta Kota Sungai” di Redaksi Kompas, beberapa waktu lalu.
Adaptasi itu, tambah Restu, sudah dilakukan penghuni awal Jakarta. Lihatlah Ciliwung.
Pada zaman prasejarah, sekitar 3000-1000 tahun sebelum Masehi, sudah ditemukan di situs-situs tak jauh dari sungai ini.
Sedikitnya, ada 18 situs arkeologis yang terletak di aliran Ciliwung dari Jatinegara misalnya di Kebon Nanas, Cawang, Cililitan, dan lainnya.
Di Daerah Aliran Sungai Pesanggrahan, tinggalan sejarah antara lain batu besar yang disebut batu tapak di Wisma Mas, Cinangka, Sawangan, dan makam serta sejenis batu besar lain di kawasan Cinere, Depok.
Salah meniru Amsterdam
Restu juga menyebut rekayasa sungai demi kepentingan kelangsungan hidup warga sekitar juga dilakukan sejak Kerajaan Tarumanegara yang dipimpin Raja Purnawarman.
Ia diketahui memerintahkan penggalian kanal yang lebih ditujukan untuk mengatur pengairan sawah.
Di awal tahun 1500-an itu juga, perubahan tata kota Jakarta dan perusakannya dimulai.
Penjajah khususnya Belanda menguasai Jakarta dan menyebutnya dengan Batavia. Belanda mengiris-iris Ciliwung menjadi kanal-kanal.
”Saya menduga Belanda salah sangka tentang topografi dan geografi Jakarta. Dia membandingkan Batavia seperti seolah-olah Amsterdam. Jadi, di Batavia, Ciliwung dipotong-potong semaunya sendiri untuk pelayaran, tetapi tidak memperhitungkan sedimentasi dan Gunung Salak yang ada di selatan. Sementara di Amsterdam tidak ada gunung dan perilaku hidup orang Eropa dan orang Asia itu juga berbeda,” paparnya.
Kegagalan ini semestinya menjadi cermin apakah kanal itu akan selalu menjadi prioritas dalam pengendalian banjir di Jakarta ini.
Dari tahun 1500 sampai 1830, Jakarta sudah tidak menjadi kota yang sehat. (Baca juga: DKI Inventarisasi Pembebasan Lahan untuk Normalisasi Kali Krukut)
Dari tahun 1830 sampai 1911, data masterplan 1913 pengendalian banjir Jakarta oleh Belanda menunjukkan Belanda hanya berupaya agar kawasan tertentu, seperti kawasan Menteng dan Kota Tua, tidak banjir.
”Pemerintah kolonial jugalah yang mengubah lahan di Puncak, Bogor, dari hutan jadi kebun teh pemicu erosi serta sedimentasi besar-besaran di sungai-sungai di hilir,” kata Restu.