Pemandangan seperti ini dapat dijumpai di beberapa area di kota-kota besar. Di Bangkok, pemandangan serupa dapat ditemukan di Thonglor dan di tepi jalan di belakang daerah Sukhumvit.
Di Kuala Lumpur, hal ini dapat terlihat di daerah Bangsar. Sedangkan di Manila dapat ditemukan di area Rockwell.
Perbedaan yang sangat jelas antara kaum kaya dan miskin dapat ditemukan di lingkungan daerah-daerah ini.
Ketika kita mengkritik angka koefisien gini yang mendasari perbedaan ini, apakah kita pernah berhenti untuk memikirkan siapakah orang-orang ini?
Siapa nama-nama mereka? Dari mana asal mereka? Siapakah istri dan anak-anak mereka? Apakah mereka senang dengan nasib mereka? Apakah mereka bermimpi suatu hari dapat tinggal di apartemen megah yang mereka bangun ini?
Di kota-kota seperti Singapura dan Kuala Lumpur, di mana sebagian besar buruh kerja didatangkan dari luar negeri – seperti Banglades, India, Pakistan dan Nepal – orang-orang ini bahkan lebih tidak terlihat.
Sebagai perbandingan, di Jakarta, Ho Chi Minh, dan Manila, pekerja konstruksi adalah orang lokal. Misalnya, di Senopati, mereka pada umumnya adalah orang Jawa yang sangat miskin.
Dengan tulang tubuh yang besar namun kurus sekali, Pak Tukin menyambut kami dengan ramah.
Tim CeritalahAsean (ditemani oleh seorang fotografer) sempat ikuti Pak Tukin menggunakan bis pulang ke desanya yang terletak tepat di pinggiran kota Jepara, pusat pembuatan mebel di Jawa Tengah.
Pak Tukin adalah seorang pekerja dengan kemampuan setengah terampil. Dia menerima Rp 49.000 setiap hari jika dia bekerja selama 8 jam. Dia bisa mendapat tambahan uang sebesar 40 persen jika dia bekerja lembur selama 3 jam.
Pak Tukin membutuhkan uang sebesar gajinya selama sebulan (disertai dengan lembur) untuk bisa mencoba menu Decouverte di Emilie.
Bercerai dan telah menikah kembali, Pak Tukin memiliki dua orang anak dari pernikahan dengan istri pertamanya. Anak pertamanya (sekarang berumur 28) sudah memiliki dua orang anak.
Sedangkan anak keduanya yang berumur 17 tahun, Dini, sudah menikah ketika Pak Tukin pulang kampung. Kami merasa terhormat dapat hadir dan merekam acara pernikahan anaknya itu.
“Saya bertani pada sebidang lahan seluas setengah hektar. Lahan ini tidak mempunyai sistem irigasi sehingga saya hanya bergantung dari curah hujan. Saya menanam singkong, jagung, kacang, dan ketimun. Saya bisa mendapat sekitar 1,2 juta rupiah setelah 9 bulan penanaman. Untungnya, tanaman singkong tidak memerlukan perhatian penuh sehingga istri saya dapat menanganinya sewaktu saya tidak ada.”
Dengan logat Jawanya yang kental, Pak Tukin menjelaskan dengan sangat lengkap tentang bagaimana dia berusaha mendapatkan lebih dari Rp 8 juta untuk biaya pernikahan anak perempuannya, dan untuk membiayai hidup istrinya.
“Saya tidak mempunyai tabungan,” katanya terus terang. Kemudian dia lanjut mengatakan, “Saya harus meminjam enam juta rupiah dari seorang sepupu dan dua juta rupiah dari seorang rentenir. Untungnya, sepupu saya tidak mendorong saya untuk cepat melunasi, namun saya harus membayar rentenir sebesar Rp 250 ribu tiap bulan dalam 10 bulan ke depan. Jika tidak, mereka akan mendatangi saya.”
“Saya berharap ada lebih banyak pekerjaan di Jepara. Kemampuan mengukir kayu saya tidak begitu baik, namun saya dapat menangani kabel-kabel listrik dengan mudah. Saya akan melakukan apa saja agar bisa bangun tidur pagi hari di desa saya."
Sambil memandang ke kejauhan, dia tersenyum lemah dan mengatakan, “Ketika saya bangun tidur di pondokan milik perusahaan, saya hanya dapat bermimpi sedang duduk sendirian memandang ladang singkong saya.”
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.