Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Pak Tukin, Mimpinya atas Jepara

Kompas.com - 14/10/2016, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

Pemandangan seperti ini dapat dijumpai di beberapa area di kota-kota besar. Di Bangkok, pemandangan serupa dapat ditemukan di Thonglor dan di tepi jalan di belakang daerah Sukhumvit.

Di Kuala Lumpur, hal ini dapat terlihat di daerah Bangsar. Sedangkan di Manila dapat ditemukan di area Rockwell.

Perbedaan yang sangat jelas antara kaum kaya dan miskin dapat ditemukan di lingkungan daerah-daerah ini.

Ketika kita mengkritik angka koefisien gini yang mendasari perbedaan ini, apakah kita pernah berhenti untuk memikirkan siapakah orang-orang ini?

Siapa nama-nama mereka? Dari mana asal mereka? Siapakah istri dan anak-anak mereka? Apakah mereka senang dengan nasib mereka? Apakah mereka bermimpi suatu hari dapat tinggal di apartemen megah yang mereka bangun ini?

Di kota-kota seperti Singapura dan Kuala Lumpur, di mana sebagian besar buruh kerja didatangkan dari luar negeri – seperti Banglades, India, Pakistan dan Nepal – orang-orang ini bahkan lebih tidak terlihat.

Sebagai perbandingan, di Jakarta, Ho Chi Minh, dan Manila, pekerja konstruksi adalah orang lokal. Misalnya, di Senopati, mereka pada umumnya adalah orang Jawa yang sangat miskin.

KARIM RASLAN Tukin
Sekarang ini, untuk CeritalahAsean, kami telah menghabiskan waktu dengan salah satu pekerja konstruksi District 8. Namanya Pak Tukin, dan dia sudah berumur 50 tahun.

Dengan tulang tubuh yang besar namun kurus sekali, Pak Tukin menyambut kami dengan ramah.

Tim CeritalahAsean (ditemani oleh seorang fotografer) sempat ikuti Pak Tukin menggunakan bis pulang ke desanya yang terletak tepat di pinggiran kota Jepara, pusat pembuatan mebel di Jawa Tengah.

Pak Tukin adalah seorang pekerja dengan kemampuan setengah terampil. Dia menerima Rp 49.000 setiap hari jika dia bekerja selama 8 jam. Dia bisa mendapat tambahan uang sebesar 40 persen jika dia bekerja lembur selama 3 jam.

Pak Tukin membutuhkan uang sebesar gajinya selama sebulan (disertai dengan lembur) untuk bisa mencoba menu Decouverte di Emilie.

Bercerai dan telah menikah kembali, Pak Tukin memiliki dua orang anak dari pernikahan dengan istri pertamanya. Anak pertamanya (sekarang berumur 28) sudah memiliki dua orang anak.

Sedangkan anak keduanya yang berumur 17 tahun, Dini, sudah menikah ketika Pak Tukin pulang kampung. Kami merasa terhormat dapat hadir dan merekam acara pernikahan anaknya itu.

“Saya bertani pada sebidang lahan seluas setengah hektar. Lahan ini tidak mempunyai sistem irigasi sehingga saya hanya bergantung dari curah hujan. Saya menanam singkong, jagung, kacang, dan ketimun. Saya bisa mendapat sekitar 1,2 juta rupiah setelah 9 bulan penanaman. Untungnya, tanaman singkong tidak memerlukan perhatian penuh sehingga istri saya dapat menanganinya sewaktu saya tidak ada.”

Dengan logat Jawanya yang kental, Pak Tukin menjelaskan dengan sangat lengkap tentang bagaimana dia berusaha mendapatkan lebih dari Rp 8 juta untuk biaya pernikahan anak perempuannya, dan untuk membiayai hidup istrinya.

“Saya tidak mempunyai tabungan,” katanya terus terang. Kemudian dia lanjut mengatakan, “Saya harus meminjam enam juta rupiah dari seorang sepupu dan dua juta rupiah dari seorang rentenir. Untungnya, sepupu saya tidak mendorong saya untuk cepat melunasi, namun saya harus membayar rentenir sebesar Rp 250 ribu tiap bulan dalam 10 bulan ke depan. Jika tidak, mereka akan mendatangi saya.”

“Saya berharap ada lebih banyak pekerjaan di Jepara. Kemampuan mengukir kayu saya tidak begitu baik, namun saya dapat menangani kabel-kabel listrik dengan mudah. Saya akan melakukan apa saja agar bisa bangun tidur pagi hari di desa saya."

Sambil memandang ke kejauhan, dia tersenyum lemah dan mengatakan, “Ketika saya bangun tidur di pondokan milik perusahaan, saya hanya dapat bermimpi sedang duduk sendirian memandang ladang singkong saya.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pedagang Pigura di Bekasi Bakal Jual 1.000 Pasang Foto Prabowo-Gibran

Pedagang Pigura di Bekasi Bakal Jual 1.000 Pasang Foto Prabowo-Gibran

Megapolitan
Ketika Pemprov DKI Seolah Tak Percaya Ada Perkampungan Kumuh Dekat Istana Negara...

Ketika Pemprov DKI Seolah Tak Percaya Ada Perkampungan Kumuh Dekat Istana Negara...

Megapolitan
Pedagang Pigura di Bekasi Patok Harga Foto Prabowo-Gibran mulai Rp 150.000

Pedagang Pigura di Bekasi Patok Harga Foto Prabowo-Gibran mulai Rp 150.000

Megapolitan
Upaya PKS Lanjutkan Hegemoni Kemenangan 5 Periode Berturut-turut pada Pilkada Depok

Upaya PKS Lanjutkan Hegemoni Kemenangan 5 Periode Berturut-turut pada Pilkada Depok

Megapolitan
PKS Bakal Gaet Suara Anak Muda untuk Bisa Menang Lagi pada Pilkada Depok 2024

PKS Bakal Gaet Suara Anak Muda untuk Bisa Menang Lagi pada Pilkada Depok 2024

Megapolitan
Golkar: Elektabilitas Bukan Jadi Indikator Utama untuk Pilih Cagub DKI

Golkar: Elektabilitas Bukan Jadi Indikator Utama untuk Pilih Cagub DKI

Megapolitan
Polisi Periksa 13 Saksi dalam Kasus Anggota Polisi yang Tembak Kepalanya Sendiri

Polisi Periksa 13 Saksi dalam Kasus Anggota Polisi yang Tembak Kepalanya Sendiri

Megapolitan
Nestapa Agus, Tak Dapat Bantuan Pemerintah dan Hanya Andalkan Uang Rp 100.000 untuk Hidup Sebulan

Nestapa Agus, Tak Dapat Bantuan Pemerintah dan Hanya Andalkan Uang Rp 100.000 untuk Hidup Sebulan

Megapolitan
Ogah Bayar Rp 5.000, Preman di Jatinegara Rusak Gerobak Tukang Bubur

Ogah Bayar Rp 5.000, Preman di Jatinegara Rusak Gerobak Tukang Bubur

Megapolitan
Kapolres Jaksel: Brigadir RAT Diduga Bunuh Diri karena Ada Masalah Pribadi

Kapolres Jaksel: Brigadir RAT Diduga Bunuh Diri karena Ada Masalah Pribadi

Megapolitan
Polisi: Mobil Alphard yang Digunakan Brigadir RAT Saat Bunuh Diri Milik Kerabatnya

Polisi: Mobil Alphard yang Digunakan Brigadir RAT Saat Bunuh Diri Milik Kerabatnya

Megapolitan
Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Sabtu 27 April 2024, dan Besok: Siang ini Hujan Ringan

Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Sabtu 27 April 2024, dan Besok: Siang ini Hujan Ringan

Megapolitan
[POPULER JABODETABEK] Warga yang 'Numpang' KTP Jakarta Protes NIK-nya Dinonaktifkan | Polisi Sita Senpi dan Alat Seks dari Pria yang Cekoki Remaja hingga Tewas

[POPULER JABODETABEK] Warga yang "Numpang" KTP Jakarta Protes NIK-nya Dinonaktifkan | Polisi Sita Senpi dan Alat Seks dari Pria yang Cekoki Remaja hingga Tewas

Megapolitan
Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Megapolitan
Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com