"Baru sekitar 1918 sumber air baru dialirkan dari Ciomas, Bogor. Pembangunannya selesai pada 1922, lalu sumur bor dibongkar," katanya.
Jayakarta
Cerita tentang sumur tua di Jakarta juga berkaitan dengan Pangeran Jayakarta. Pada Mei 1619, pasukan Pangeran Jayakarta dikepung pasukan Belanda yang dipimpin Jan Pieterszoon Coen. Pangeran Jayakarta terdesak karena dikepung dari arah Senen, Pelabuhan Sunda Kelapa, dan Tanjung Priok.
Jayakarta akhirnya mengelabui tentara kompeni dengan melepas jubah dan sorbannya yang dibuang ke sumur di Mangga Dua. Belanda lalu mengira Pangeran Jayakarta tewas setelah menembaki jubah dan sorban yang ada di dalam sumur.
Hingga saat ini, lokasi tersebut dikenal sebagai petilasan keramat Pangeran Jayakarta. Lokasi sumur hanya berjarak 1 meter dari petilasan (Kompas, 30 Maret 2007).
Lima abad setelahnya, 2016, sumur sedalam 5 meter itu masih mengeluarkan air. Airnya agak keruh dan sedikit kekuningan. Warga sekitar, terutama keluarga pengurus petilasan Pangeran Jayakarta, masih menggunakan air itu untuk mandi, cuci, dan kakus. Meski kemarau panjang, sumur tak pernah kering.
"Mau kemarau seperti apa pun, sumur tetap ada airnya. Sekarang, kami gunakan airnya hanya untuk cuci-cuci. Terkadang, tetangga lain ikut mengambil air di sini," ujar Kurniati (62), penjaga petilasan Pangeran Jayakarta, Kamis (20/10).
Kurniati menuturkan, sekitar tahun 1970-an, lokasi sumur berada di tengah-tengah pabrik kulit dan besi. Di belakang pabrik itu ada aliran anak Kali Ciliwung yang mengalir. Di bantaran kali ada pohon mangga, dadap, dan tebu. Tepat di depan petilasan yang juga dipercaya sebagai makam Pangeran Jayakarta ada pohon beringin besar.
Kini, lokasi itu sudah dipadati permukiman penduduk. Sementara untuk sampai di lokasi petilasan yang menyatu dengan masjid itu harus melewati lorong gang sempit sekitar 1,5 meter. Petilasan diimpit bangunan beton di sisi kiri dan kanan. Dulu, sumur rata dengan tanah dan dipagari bambu di sekelilingnya.
Ayah Kurniati, yang bekerja sebagai juru kunci dan perawat petilasan, lalu memasang ring beton dan melapisi bagian luar beton dengan keramik biru. Ada ember kecil dikaitkan dengan tali tambang untuk menimba air. "Lumpur sumur pernah juga pernah dikeruk," kata Kurniati.
Karena dipercaya sebagai tempat keramat, banyak peziarah datang ke lokasi itu untuk berdoa dan ziarah. Sebelum tirakat, banyak pengunjung yang memilih mandi dan menyucikan diri dengan air sumur tua.
Untuk segala keperluan
Di Museum Sejarah Jakarta, ada sumur tua di dalam kompleks bekas kantor Gubernur Jenderal Batavia. Menurut catatan museum, sumur itu sudah ada sejak tahun 1707 atau seusia dengan bangunan di Kota Tua.
Pemandu wisata Museum Sejarah Jakarta, Amat Kusaini (41), mengatakan, air sumur diduga digunakan untuk proyek pembangunan gedung kantor gubernur dan penjara.
Hingga saat ini sumur-sumur masih digunakan oleh warga Jakarta. Sumur bor malah menjadi tumpuan sebagian besar perusahaan untuk memenuhi kebutuhan. Dari dulu hingga kini, saat air bersih perpipaan tak juga mampu memenuhi kebutuhan penghuni kota, kisah pertalian antara warga Ibu Kota dan sumur tidak akan pernah usai.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Oktober 2016, di halaman 28 dengan judul "SUMUR TUA JAKARTAHikayat Secangkir Teh dan Jubah Pangeran".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.