JAKARTA, KOMPAS.com - Mahesh Lalmani bersama enam orang pemilik lahan di Jalan RS Fatmawati, Senin (31/10/2016), melanjutkan sidang gugatan terhadap Pemprov DKI Jakarta terkait pembebasan lahan untuk proyek MRT (mass rapid transit).
Di tengah upaya pemerintah mempercepat pembebasan lahan yang ditargetkan rampung akhir tahun ini, Mahesh menceritakan pahitnya pembebasan lahan yang dirasakannya.
"Saya siap dicap masyarakat sebagai pengganggu proyek MRT," kata Mahesh di toko gordyn miliknya, Toko Serba Indah, di Jalan RS Fatmawati, Jakarta Selatan.
Mahesh mengatakan, apa yang tengah diperjuangkannya kini adalah masalah prinsip benar atau tidaknya proses perwujudan MRT. Ia menyatakan, 1000 persen mendukung MRT tetapi tidak dengan proses yang salah.
Mahesh mengaku sejak MRT pertama dicanangkan pada 2011, pihaknya tak pernah diajak konsultasi soal MRT, hanya belakangan merasakan bisnisnya merugi. Mahesh menuturkan berbagai pendapatnya soal bagaimana MRT harusnya dibangun, dan menilai musyawarah yang dilakukan terjadi satu arah.
"Pemerintah mulai pembangunan sebelum lahan dibebaskan. Di Rencana Tata Ruang Tata Wilayah saja tidak ada MRT, kami belum pernah dikasih tahu secara jelas juga," ujarnya.
Soal pembebasan lahan yang berjalan alot sejak 2012, Mahesh menceritakan banyak warga melepas lahannya dengan harga NJOP bahkan di bawahnya karena pasrah kalah dengan pemerintah.
Ia menolak membenarkan langkah pemerintah. Bersama enam orang yang lahannya bakal jadi stasiun Haji Nawi, Cipete, dan Blok A ia mendaftarkan gugatan pada Juni lalu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Appraisal atau penilaian oleh konsultan yang kini dijadikan patokan pembebasan lahan, menurut Mahesh tidak sesuai dengan perundang-undangan. Ia merujuk pada pasal 34 ayat (3) UU Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Umum.
Pasal tersebut berbunyi: nilai ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian penilai tersebut menjadi dasar musyawarah penetapan ganti kerugian.
"Baca pasal itu baik-baik, appraisal itu harusnya jadi batas bawah dan bukan maksimal ganti rugi kan?" kata Mahesh.
Mahesh menunjukkan pasal itu sebagai salah satu dari aturan yang ditabrak pemerintah dalam pembangunan MRT. Ia mengaku akan terus menggugat MRT hingga ke Mahkamah Agung.
Belum diketahui pula apakah konsinyasi atau pembayaran lahan melalui pengadilan bisa dilakukan di tengah gugatan perdata Mahesh dan enam orang lainnya.
Kepala Bagian Penataan Kota dan Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan, Bambang Eko Prabowo, enggan menjawab.
"Saya belum berani jawab dulu (apakah konsinyasi dibatalkan karena terkendala gugatan), nanti akan dicoba cari info validnya," kata Bambang.