Jakarta perlu mewadahi beragam cinta yang ditujukan kepadanya. Jakarta milik semua dan karenanya berhak dicintai semua juga.
Mulai dari Nenek Tinah di trotoar Senayan hingga tiga pasang kandidat dalam Pilkada DKI Jakarta yaitu Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Mereka sama-sama punya cinta yang besar dan menyala-nyala untuk Jakarta. Kita tidak meragukan mereka.
(Baca: Cerita Nenek Tinah yang Shalat di Trotoar Kompleks GBK Senayan )
Karena itu, keceriaan yang menjadi cermin adanya cinta kepada Jakarta terpantul saat tiga pasang kandidat mengawali tahap awal pencalonan mereka.
Rumah Sakit TNI AL Mintohardjo, Jakarta Pusat, Sabtu (24/9/2016), menjadi saksi keceriaan Agus-Sylvi, Basuki-Djarot, dan Anies-Sandiaga.
Lewat gawai yang dipegang dan dipotret Anies, semua kandidat tersenyum bersisian dalam kegembiraan. Mereka seperti melupakan pasangan dan posisi saling berlawanan.
Seperti disebut Anies yang berinisiatif mengambil wefie, foto itu dibuat untuk memastikan pilkada di Jakarta berjalan menyenangkan, mengembirakan, bukan yang tegang, bukan yang rasanya seperti mau tempur-tempuran.
(Baca: Senyum Riang di Foto Wefie Para Kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur DKI )
Sinyal awal ini melegakan. Namun, baru beberapa pekan bejalan, kepastian pilkada Jakarta berjalan menyenangkan, menggembirakan hilang dari realitas harian.
Karena pilkada Jakarta, beberapa hari belakangan ini kita dibuat tegang dan masuk dalam situasi yang rasanya seperti mau tempur-tempuran.
Di hampir semua ruang baik ruang nyata maupun maya, hal-hal menyenangkan dan menggembirakan terkait pilkada Jakarta seperti hilang.
Di batin sejumlah warga Jakarta, justru muncul ketakutan.
Untuk munculnya situasi ini, kesalahan bisa dicari dan bisa dicari-cari. Untuk kesalahan, biasanya kita enggan mengakui dengan menunjuk kesalahan pihak lain lagi.
Begini terus, tanpa pernah ada solusi.