JAKARTA, KOMPAS.com — Ahmad Maladi (30) sibuk memisahkan botol plastik dari tumpukan sampah ketika Kompas.com berkunjung ke rumahnya, Selasa (22/11/2016) siang.
Rumah Maladi berdiri di atas tanah seluas 992 meter persegi, tepat di Jalan Laksamana RE Martadinata, Pademangan Barat, Jakarta Utara.
Dari ruas tol dalam kota, lokasi itu terlihat seperti Bantargebang, tetapi dalam skala kecil. Di tempat itu, Maladi membesarkan keluarganya, mencari nafkah, dan menjadi tumpuan pembuangan sampah bagi puluhan rumah di RW 11 Pademangan Barat.
Meski terletak di pinggir jalan tol dan bersebelahan dengan sebuah apartemen tinggi, empat RT di RW 11 Pademangan Barat belum memiliki akses pembuangan limbah yang baik. Selama lebih dari 20 tahun terakhir, RT 08, 09, 10, dan 11 membuang sampah rumah tangganya di sepetak tanah yang dikelola Maladi itu.
"Enggak ada mobil sampah yang angkut ke rumah, warga akhirnya buang di sini," kata Maladi.
Warga sebenarnya bisa saja membayar layanan pengangkutan sampah dengan besaran Rp 15.000 per bulan. Namun, biaya itu dianggap terlalu berat dan hal itu membuat orang akhirnya memilih membuang sampah ke tempat Maladi, cukup dengan membayar Rp 5.000.
Maladi menuturkan awal mula ia terjun ke dunia pengelolaan sampah. Kakeknya yang tinggal di Pademangan Barat memulai usaha itu. Dulu, tanah milik orang itu merupakan empang. Namun, sampah terus ditimbun hingga kini empang itu empuk dengan timbunan sampah dan jadi daratan.
Ketika kakeknya sakit, Maladi, yang merupakan anak terakhir dari 12 bersaudara itu, diminta mengurus kakeknya. Ia kemudian diwarisi usaha itu pada 2005.
"Katanya cuma saya yang sanggup kerja begini," ujarnya.
Selama belasan tahun, Maladi belajar memilah sampah yang bisa didaur ulang dengan yang tidak. Sampah organik akan dibakar ketika cuaca cerah. Botol plastik dikumpulkan ke dalam karung dan dijual dengan harga Rp 15.000 per karung.
Maladi bisa mengumpulkan satu karung tiap hari. Ia lalu menjualnya ke pengepul seminggu sekali.
Selain itu, di sebelah tempat pembuangan itu, ada bengkel kerajinan yang mengerjakan berbagai hiasan, sebagian bahannya dikumpulkan dari sampah.
"Yang pesan di sini itu biasanya Ancol, kalau ada acara, pesan styrofoam, tulisan macam-macam di sini juga kerjainnya," ujar Maladi.
Ia kini mengisi peran sebagai bagian kebersihan di kepengurusan RW 11 Pademangan Barat. Tak ada upah dari jabatan itu.
Politik sampah
Di tengah riuh warga Pademangan Barat mengikuti kampanye calon wakil gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno, Maladi memilih sibuk memilah botol plastik. Ketika Sandiaga Uno diminta meninjau tempat pembuangan sampah itu, Maladi pun tak menggubris untuk menemui dan bersalaman dengan Sandiaga.
"Saya kalau politik, enggak peduli," katanya.
Pilkada DKI yang kini hangat jadi perbincangan masyarakat tak menarik sama sekali buat Maladi. Ia kemungkinan akan sama seperti pada Pilkada 2012, tak menggunakan hak pilihnya.
Pada 2012, tim sukses pasangan Jokowi-Ahok pernah membagi-bagikan gerobak bagi penarik sampah di Pademangan. Maladi berpikir praktis.
"Dia janjiin minta apa saja dikasih. Ya saya bilang, Anda mau suara berapa, saya tarikin, saya minta Viar (motor bak) untuk warga," ujarnya.
Motor itu tak pernah diberikan. Maladi pun tak pernah terbuai pada janji-janji lagi. Menurut dia, kedatangan politikus yang bertarung dalam pemilu ke kampung-kampung hanyalah pencitraan.
"Nanti kalau sudah jadi apa ingat sama rakyat?" ujarnya.
Maladi yang dengan badan tegap mengenakan kaus bergambar Presiden pertama RI Soekarno mengatakan, jika boleh memilih, ia lebih suka hidup di rezim Presiden Soeharto. Alasannya satu, saat itu ia lebih sejahtera. Bisnis pengolahan limbah masih banyak ditemui pada zaman itu.
"Dulu sekolah saya ngumpulin karet bisa dapat Rp 5.000, sekarang ini apa nilainya? Enggak ada," katanya sambil menunjukkan sampah mainan karet.
Meski hidup tak tenang di tengah ancaman penggusuran, Maladi enggan berharap dari siapa pun yang berkuasa. Ia mengandalkan dirinya sendiri untuk bertahan hidup.
"Kita kan bisa kerja macam-macam, bisa kerja proyek, bisa jualan, enggak usah terlalu khawatirlah selama masih bisa menyambung hidup," katanya tersenyum.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.