Oleh: Dian Dewi Purnamasari
Orang-orang berpakaian rapi menenteng tas berisi map dan berkas memenuhi lantai tiga gedung eks Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (12/1). Mereka bersiap mengikuti sidang di ruangan Oemar Seno Adjie, Suryadi, Soebekti, juga ruang sidang anak di lantai itu. Semilir angin berembus di selasar, menerpa siapa saja di bangku panjang.
Setiap hari, puluhan kasus disidangkan di pengadilan yang terletak di Jalan Gajah Mada Nomor 17, Gambir, Jakarta Pusat, itu. Beberapa kasus yang disidangkan adalah kasus pidana, perdata, perceraian, ataupun kasus anak.
Ada delapan ruangan di lantai dua dan tiga yang digunakan sebagai ruang sidang. Pengadilan yang berada dekat dengan kawasan Glodok dan Kota Tua itu diperkirakan sudah ada sejak tahun 1950. Dahulu, gedung itu masih bernama Landraad atau pengadilan dalam bahasa Belanda.
Ketua Tim Sidang Pemugaran DKI Jakarta Bambang Eryudhawan menduga, gedung PN Jakarta Pusat mulai digunakan setelah Indonesia merdeka. Berdasarkan koran dan pemberitaan pada masa itu, pengadilan mulai digunakan setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) bubar. Setelah jatuhnya RIS, nama-nama jalan berbahasa Belanda diubah menjadi nama nasional. Di buku telepon tahun 1954, ia menemukan gedung itu masih berada di Jalan Molenvliet Nomor 15.
"Dulu, semua kasus disidangkan di situ karena hanya ada satu pengadilan. Setelah tahun 1950, kota mulai berkembang ke arah selatan," ujar Bambang.
Menurut Bambang, arsitek ternama Han Awal pernah mengatakan bahwa gedung tersebut dibangun oleh Soehamir. Dilihat dari arsitekturnya, gedung itu merupakan pionir gaya modern kontemporer pada masanya. Kemegahan itu juga untuk menandai kedatangan ibu kota pemerintahan RI yang sempat pindah ke Yogyakarta.
Catatan koran pada masa itu, Java Bode, menulis beberapa kasus yang disidangkan adalah sengketa tanah, pencatutan karcis bioskop, dan perceraian. Pada 1950, kasus pencatutan karcis bioskop marak. Beberapa bioskop pun sudah ada di Jakarta, seperti Kramat, Roxy, Caltex, dan Capital.
Catatan tentang kasus-kasus besar, seperti pengeboman di Cikini, tidak ditemukan. Menurut Bambang, ada kemungkinan kasus tersebut disidangkan di PN Jakarta Pusat karena terjadi pada 1950-1960. Saat itu, satu-satunya pengadilan di Jakarta adalah PN Jakarta Pusat.
Perempuan jaksa pertama
Menurut Bambang, PN Jakarta Pusat juga melahirkan perempuan jaksa pertama yang berasal dari etnis Tionghoa, seperti diungkap di Java Bode tahun 1950. Berita surat kabar itu menuliskan, pada akhirnya Jakarta memiliki perempuan jaksa bernama Lim Tek Hoa. Lim menggenapi kehadiran dua ahli hukum yang telah ada, yaitu Thung Tjip Nio dan Sie Tiang Nio.
"Pada tahun itu, sekolah tinggi (universitas) yang terkenal adalah kedokteran, teknik, dan hukum. Sekolah hukum dan kedokteran ada di Jakarta. Sekolah teknik di Bandung," tambahnya.
Salah seorang karyawan lama di PN Jakarta Pusat adalah Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Subbagian Umum dan Keuangan Riana Safitri Yanuarti yang bertugas sejak 1992. Riana menuturkan, sebelum tahun 1960, PN itu disebut pengadilan istimewa. Sejak 1960, baru berganti nama menjadi PN Jakarta Pusat.
"Sebelum ada kantor pengadilan lain di Jakarta Selatan, satu-satunya pengadilan di Jakarta," ujar Riana.
Saat kerusuhan 1998, Riana pun merasakan suasana mencekam di sekitar Glodok dan Kota. Apalagi, lokasi PN berdekatan dengan pusat perbelanjaan yang menjadi sasaran amuk massa, yaitu Gajah Mada Plaza. Pada Mei 1998 itu, Riana tetap bekerja seperti biasa. Namun, kerusuhan pecah di Gajah Mada Plaza, para karyawan diminta pulang lebih awal.