Cobek yang menjadi sumber penghidupan Tajudin (41), warga Kecamatan Padalarang, Bandung Barat, Jawa Barat, tak diduga menjadi bencana. Ia ditangkap dan ditahan selama 9 bulan selama proses hukum karena diduga melakukan eksploitasi pada anak- anak. Niat untuk membantu ternyata berujung pilu.
Tajudin datang ke Tangerang sejak tahun 2005 dan berjualan cobek yang diproduksi warga di desanya, Kampung Pojok, Desa Jaya Mekar, Kecamatan Padalarang. Tiga tahun lalu, ia menyewa petak kontrakan yang dihuni bersama teman satu kampung yang semuanya juga menjual cobek. Setiap pagi, Tajudin mengantar cobek ke pasar atau dijual eceran dengan berkeliling dari rumah ke rumah.
Tahun 2015, dua anak dari desanya, yaitu CN (14) dan DD (13), ikut ke Tangerang bersamanya. "Mereka berdua putus sekolah. Orangtuanya menitipkan mereka kepada saya untuk belajar mencari uang dan supaya tidak menganggur," katanya.
Kedua anak itu pun tinggal di petak kontrakan Tajudin. Mereka hidup saling berbagi satu sama lain.
"Kami patungan untuk membayar sewa kontrakan, tergantung siapa yang punya uang. Uang mereka biasanya untuk diberikan kepada orangtuanya, paling mereka hanya mengambil untuk jajan," ujar Tajudin.
Ia biasanya kembali ke kampung halamannya setiap 15 hari sekali bersama dengan kerabatnya itu. Tajudin membawa uang untuk istri dan anaknya sekitar Rp 500.000 hingga Rp 700.000 jika dagangannya laris. Setelah itu, ia kembali sambil membawa cobek untuk dijual.
Anak-anak itu, sebagaimana kerabat Tajudin yang lain, membeli cobek dari Tajudin seharga Rp 5.000-Rp 30.000 tergantung ukuran cobek, lalu menjual kembali cobek tersebut dipinggir jalan seharga Rp 20.000-Rp 50.000.
Mempekerjakan anak
Hingga 20 April 2016, Tajudin tiba-tiba ditangkap polisi di Jalan Raya Perumahan Graha Raya, Bintaro, pukul 22.00. Ia dituduh telah melakukan perdagangan manusia dan mengeksploitasi anak-anak. Tajudin pun ditahan dan kasusnya disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang.
Tajudin dinilai telah melakukan eksploitasi karena mempekerjakan anak dari pukul 14.00 hingga pukul 22.00 tanpa perlindungan. Anak-anak itu berjualan cobek di pinggir jalan tak berpeneduh di kompleks Villa Melati Mas dan BSD City, Serpong, Tangerang Selatan.
Kepala Polres Tangerang Selatan Ajun Komisaris Besar Ayi Supardan mengatakan, polisi menangkap Tajudin karena ia mempekerjakan anak-anak untuk mendapat keuntungan. Anak-anak harus menyetor uang sebesar Rp 30.000 per hari.
"Anak-anak itu dimanfaatkan untuk mendapat belas kasihan sehingga orang tergerak untuk membeli cobek. Sebelumnya, tidak hanya dua anak ini yang dipekerjakan," kata Ayi.
Neneng Hardiana (47), Ketua RT 003 RW 015 Kelurahan Kunciran Indah, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang, yang tinggal tepat di depan kontrakan Tajudin, mengatakan, selama ini Tajudin mengantar anak-anak itu dengan sepeda motor setiap pukul 14.30 dan dijemput malam hari.
"Setiap pagi, Pak Tajudin mencuci baju anak-anak itu. Mereka tinggal ramai-ramai, ada banyak, yang lain orang dewasa. Lalu kalau pulang kampung juga bareng-bareng. Ketika kembali bawa cobek dari kampung untuk dijual," kata Neneng.
Sisi sosiologis
Di dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tangerang, kedua anak itu mengaku tidak dipaksa untuk berjualan. Majelis hakim yang dipimpin Syamsudin menjatuhkan vonis bebas kepada Tajudin, Kamis (12/1).
Tajudin terbukti mempekerjakan dua anak. Total 7 orang yang membantunya. Semua dilakukan tanpa paksaan, tanpa kekerasan, dan atas seizin orangtua. Hakim melihat sisi sosiologis bahwa anak-anak itu harus bekerja untuk membantu orangtua dan hal itu seharusnya menjadi tanggung jawab negara.
Meski demikian, Kepala Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Tangerang Selatan Herlina Mustika Sari mengatakan, anak-anak di bawah 18 tahun belum cukup dewasa untuk menentukan pilihan. Karena itu, meski mereka memilih untuk tidak melanjutkan sekolah, orang dewasa sudah seharusnya mengarahkan mereka untuk tetap bersekolah. Kedua anak masih usia wajib belajar dan seharusnya duduk di bangku SMP.
"Anak-anak, dalam UU Tenaga Kerja Nomor 13 Tahun 2013 disebutkan, dapat melakukan pekerjaan ringan dengan syarat tertentu, seperti ada perjanjian tertulis dengan orangtua, jam kerja tidak lebih dari tiga jam, dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah," ujar Herlina.
Orang dewasa dan pemerintah daerah tetap merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas hak-hak anak dan sudah seharusnya ikut mempersiapkan masa depan anak. (Amanda Putri Nugrahanti)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Januari 2017, di halaman 27 dengan judul "Cobek, Kemiskinan, dan Hak Anak yang Terabaikan".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.