Akan tetapi, ia juga mengatakan bahwa sejumlah hal yang sifatnya mendesak dan perlu pembahasan segera dengan pihak eksekutif tetap akan ditindaklanjuti. Boikot terutama untuk pembahasan bersifat umum seperti yang terkait dengan perda ataupun perubahan APBD.
Ihwal kemungkinan ada keterkaitan boikot di DPRD itu dengan penggalangan penggunaan hak angket di DPR oleh fraksi PKS, Partai Gerindra, PAN, dan Partai Demokrat, Arif cenderung tidak menanggapinya.
Ia hanya menjelaskan bahwa domain pemberhentian sementara seorang kepala daerah memang berada di pusat. Untuk gubernur, tanggung jawab itu berada di tangan presiden.
Sejauh ini, menurut Arif, sejumlah fraksi, seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, dan Hanura, juga telah dilobi untuk turut dalam pemboikotan ini.
Faktor politik
Sebagian kalangan berpendapat, faktor politik dalam pemboikotan ini juga relatif kentara jika dibandingkan dengan keinginan untuk mendudukkan perkara hukumnya.
Profesor Riset LIPI, Ikrar Nusa Bakti, membaca, pemboikotan ini justru kental dengan aroma politik untuk mendelegitimasi Gubernur DKI Jakarta.
Ia menambahkan, jika dilihat dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sudah jelas duduk perkaranya.
UU itu mengatur ketentuan ancaman hukuman paling singkat lima tahun bagi kepala daerah yang didakwa melakukan tindak pidana, sebelum diberhentikan sementara. Adapun Pasal 156 dan 156a KUHP yang menjerat Basuki dalam kasus penodaan agama memiliki ancaman hukuman maksimal empat tahun dan lima tahun.
Selain itu, "syarat" lain yang disebutkan pada UU itu terkait pemberhentian, berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ikrar menambahkan, jika ditambahi dengan ketentuan "mesti beroleh kekuatan hukum tetap", pemberlakukan UU No 23/2014 ihwal pemberhentian sementara itu membutuhkan waktu lebih lama lagi.
Secara umum, Ikrar berpendapat, gerakan ini tidak bisa dilepaskan dari peta dukungan partai politik pada pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur pada Pilkada 2017.
Di sisi lain, ia mengakui, pendapat atau tafsir pakar hukum juga terbelah dua terkait masalah ini.
Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi FH Universitas Andalas, Feri Amsari, menyebutkan, setiap tafsir memiliki alasannya masing-masing. "Kalau pasal multitafsir, tidak boleh dong merugikan seseorang. Asasnya, kan, apabila berlaku dua kondisi hukum, maka diberlakukan yang menguntungkan pihak terdampak," katanya.
Ia menambahkan, polemik tafsir hukum ini sekaligus membuktikan bahwa memorie van toelichting (risalah rapat) pembentukan UU ini tidak dimiliki pembuat undang-undang. Bahkan, anggota DPR yang menginginkan Basuki diberhentikan sementara pun tidak punya landasan argumentasi berdasarkan risalah pembentukan UU Pemerintahan Daerah.
Ikrar menambahkan, semestinya, UU yang juga merupakan produk legislasi DPR ini dapat pula dipahami oleh fraksi-fraksi yang melakukan boikot, termasuk menentukan pemimpin daerah bisa dikenai konsekuensi pemberhentian sementara.