JAKARTA, KOMPAS.com - Tiga Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok soal pemberian izin pelaksanaan reklamasi Pulau F, I, dan K, digugat nelayan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Dalam persidangan yang digelar berturut-turut pada Kamis (16/3/2017), nelayan memenangkan semua gugatan tersebut.
PTUN Jakarta memulai sidang pertama untuk gugatan atas SK Gubernur DKI Nomor 2485 Tahun 2015 Tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K kepada PT Pembangunan Jaya Ancol.
Ketua majelis hakim yang memimpin jalannya sidang, M Arief Pratomo, dalam pokok perkara mengabulkan seluruh gugatan nelayan.
"Menyatakan batal keputusan Gubernur Provinsi DKI Nomor 2485 tahun 2015 tentang pemberian izin pelaksaan reklamasi Pulau K kepada PT Pembangunan Jaya Ancol tanggal 17 November 2015," kata Arief, saat membacakan putusannya di ruang sidang Kartika di PTUN Jakarta, Kamis sore.
Hakim juga meminta tergugat untuk mencabut SK Gubernur DKI tentang pemberian izin pelaksanaan reklamasi pulau K tersebut. Menurut hakim, para penggugat tidak boleh melakukan segala kegiatan di lokasi reklamasi, sampai ada kekuatan hukum tetap.
"Menghukum tergugat dan tergugat 2 intervensi untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 425.000," ujar hakim Arief.
Putusan dari majelis itu membuat para nelayan bersyukur. Sejumlah nelayan bersorak riang setelah majelis hakim PTUN mengabulkan gugatan.
Para nelayan berangkulan, bahkan sebagian ibu-ibu mengusap air matanya karena menangis mendengar putusan tersebut.
"Hidup nelayan, hidup," teriak nelayan di ruang sidang.
Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata menyambut baik keputusan hakim yang mengabulkan gugatan tersebut.
"Kami mengapresiasi sangat tinggi putusan ini," ujar Marthin.
(baca: Kalah di PTUN Terkait Reklamasi Pulau K, Ancol Pertimbangkan Banding)
Kuasa hukum PT Pembangunan Jaya Ancol, Akbar Surya, menyatakan menghormati putusan majelis hakim dan sedang mempertimbangkan langkah hukum selanjutnya. Pihaknya mengaku akan mengupayakan proses hukum selanjutnya secara maksimal.
"Kami pasti upaya maksimal mungkin untuk kepentingan dan hak kami di tingkat hukum selanjutnya," ujar Akbar.
Gugatan reklamasi Pulau F
Putusan hakim pada sidang kedua atas SK Gubernur DKI nomor 2268 Tahun 2015 tentang pemberian izin reklamasi pulau F kepada PT Jakarta Propertindo, juga memenangkan nelayan.
Ketua majelis hakim, Baiq Juliani, yang memimpin jalannya sidang putusan untuk Pulau F, dalam pokok perkara menyatakan mengabulkan seluruh gugatan nelayan.
"Menyatakan batal keputusan Gubernur DKI nomor 2268 Tahun 2015 tentang pemberian izin reklamasi pulau F kepada PT Jakarta Propertindo tertanggal 22 Oktober 2015," kata Baiq.
Hakim melihat dan berpendapat bahwa penerbitan obyek sengketa (SK Gubernur DKI Nomor 2268 Tahun 2015) tidak berkaitan dengan kepentingan umum dalam rangka pembangunan.
Pengadilan, kata hakim, berkesimpulan bahwa kepentingan nelayan sangat dirugikan dengan obyek sengketa dan bila tetap dilaksanakan maka kerugian yang dialami nelayan akan lebih besar.
"Berupa semakin besar kerusakan sumber daya perairan yang akan terjadi dari akibat kegiatan reklamasi dibandingkan dengan unsur manfaat yang harus dilindungi oleh pelaksanaan dari obyek sengketa dalam perkara ini," ujar hakim ketua.
Karena tidak ada sangkut paut dengan kepentingan umum, hakim menilai gugatan nelayan harus dikabulkan. Pada pokok perkara hakim juga mewajibkan tergugat untuk mencabut keputusan Gubernur DKI nomor 2268 Tahun 2015 tentang pemberian izin reklamasi pulau F kepada Jakpro.
(baca: Nelayan Menangkan Gugatan Reklamasi Pulau F, Ini Tanggapan PT Jakpro)
Hakim memerintahkan untuk tidak ada kegiatan di proyek reklamasi Pulau F, sampai ada kekuatan hukum tetap. Adapun dalam hal eksepsi, hakim menolak eksepsi tergugat dan tergugat intervensi.
"Menghukum tergugat dan tergugat 2 intervensi untuk membayar biaya perkara secara tanggung renteng sejumlah Rp 474.500," ujar hakim.
Kuasa hukum PT Jakarta Propertindo Aldrien Steven Paty mengatakan pihaknya masih menunggu salinan putusan PTUN Jakarta untuk menentukan langkah hukum selanjutnya. PT Jakpro merupakan pengembang untuk proyek reklamasi Pulau F.
"Kalau ditanya langkah selanjutnya kami menunggu salinan putusan, memelajarinya terutama. Terkait langkah hukumnya kami bisa diskusikan dengan prinsipal saya," kata Aldrien.
Para nelayan menyambut kemenangan atas gugatan tersebut dengan sujud syukur.
Gugatan reklamasi Pulau I
Pemandangan hampir sama juga terjadi pada sidang terakhir setelah PTUN memutuskan mengabulkan gugatan pihak nelayan atas SK Gubernur DKI Nomor 2269 Tahun 2015 tentang pemberian izin pelaksanaan reklamasi Pulau I.
Ketua majelis hakim, Adhi Budi Sulistyo, dalam pokok perkara memutuskan mengabulkan gugatan penggugat dua, dalam hal ini pihak Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) atas SK Gubernur tersebut.
"Menyatakan batal keputusan Gubernur Provinsi DKI Nomor 2269 tahun 2015 tentang pelaksanaan izin reklamasi ke PT Jaladri Kartika Ekapaksi," kata Adhi.
Hakim mewajibkan agar SK Gubernur DKI tersebut dicabut. Hakim juga memerintahkan tergugat menunda keputusan Gubernur Provinsi DKI Nomor 2269 tahun 2015 tentang pelaksanaan izin reklamasi dengan segala tindakan administrasi, sampai berkekuatan hukum tetap.
"Menghukum tergugat dan tergugat intervensi dengan membayar biaya perkara secara tanggung renteng Rp 483.000," ujar Adhi.
"Hidup rakyat Indonesia," kata seorang nelayan sambil mengepalkan tangan ke atas.
"Saya sangat lega sekali dan gembira sekali majelis hakim memutus adil dan saya anggap hakim peduli nelayan," ujar Ketua Komunitas Nelayan Tradisional (KNT), Iwan Carmidi.
Iwan mengatakan, pihaknya akan terus mengawal putusan ini. Menurut dia, jika para tergugat banding, pihaknya akan terus melawan melalui proses hukum.
Adapun kuasa hukum PT Jaladri Kartika Ekapaksi akan memelajari putusan tersebut. Masih ada waktu 14 hari bagi tergugat untuk memutuskan akan banding atau tidak.
Sementara itu, Ketua KNTI Marthin Hadiwinata mengatakan, tiga kemenangan pada sidang hari ini merupakan kemenangan para nelayan.
"Ini menguatkan pandangan bahwa reklamasi ini banyak pelanggaran hukum di dalamnya. Dalam pelaksanaan idenya sendiri sudah melanggar hukum, jadi tidak bisa dilanjutkan lagi," ujar Marthin.