Perbedaan data itu terjadi di setiap instansi menyusul berlainannya cakupan wilayah penghitungan dan metode yang digunakan. Dinas Perhubungan DKI Jakarta mencatat, ada 166 pelintasan sebidang di Jakarta. Jumlah itu terbagi dalam lintas Tanahabang-Serpong, Manggarai-Bogor, Manggarai-Bekasi, Duri-Tangerang, dan Lingkar Jakarta.
PT KAI Daerah Operasi 1 Jakarta menghitung, terdapat 474 pelintasan sebidang yang terbagi dalam 25 resor dan lintas.
Kacaunya data juga disebabkan pelintasan sebidang cenderung terus dibangun setiap waktu dan tanpa didahului permohonan izin. Pembangunan pelintasan sebidang liar tidak terpantau menyusul meluasnya kawasan permukiman, bisnis, juga sejumlah proyek pemerintah.
Khusus yang terakhir, Edi mengatakan, baru saja menegur penanggung jawab salah satu proyek jalan inspeksi sungai yang membangun pelintasan sebidang di wilayah Tamankota, Grogol, Jakarta. Ia memberikan waktu sebulan agar pelintasan sebidang tanpa izin itu ditutup, atau dipergunakan terbatas dengan pagar bergembok.
Syarat berat
Keengganan untuk mengajukan izin pembangunan pelintasan sebidang ini terkait dengan sejumlah syarat teknis yang diwajibkan. Aturan teknis terkait itu telah dicantumkan dalam Peraturan Dirjen Hubdar SK.770/KA.401/DRJD/2005 tentang Pedoman Teknis Pelintasan Sebidang Antara Jalan dengan Jalur Kereta Api.
Misalnya saja, syarat tertentu terkait kondisi permukaan jalan, sudut perpotongan, dan lebar pelintasan maksimum untuk satu jalur 7 meter. Selain itu, wajib juga dilengkapi sejumlah rambu, marka jalan, isyarat lampu, isyarat suara pita penggaduh, dan lainnya.
Itu belum termasuk keharusan untuk menempatkan petugas pintu pelintasan. Hal-hal itu berkelindan dengan jumlah biaya yang mesti dikeluarkan, seperti pintu pelintasan yang menurut Edi harganya bisa mencapai Rp 2 miliar.
Jika izin diberikan sekalipun, masa berlakunya paling lama tiga tahun sebelum wajib dibangun menjadi pelintasan tidak sebidang. Ini menyusul aturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56/2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian.
Pasal 79 peraturan itu menyebutkan tentang evaluasi berkala oleh menteri, gubernur, atau bupati dan wali kota terhadap perpotongan sebidang. Hasil evaluasi tersebut menjadi dasar untuk dilakukannya penutupan pelintasan sebidang.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 23/2007 tentang Perkeretaapian juga menyebutkan tentang perpotongan antara jalur kereta api dan jalan yang dibuat tidak sebidang. Ini tercantum dalam Pasal 91 dengan tambahan pengecualian hanya bisa dilakukan jika tetap menjamin keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api dan lalu lintas jalan.
Pasal 94 menyebutkan, pelintasan sebidang yang tidak mempunyai izin harus ditutup. Penutupan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Namun, perkara dipenuhi atau tidaknya aneka syarat perizinan tadi cenderung bukanlah satu-satunya penyebab keengganan membangun pelintasan tidak sebidang. Peraturan Presiden 83/2011 tentang Penugasan kepada PT KAI untuk Menyelenggarakan Prasarana dan sarana Kereta Api Bandar Udara Soekarno-Hatta dan Jalur Lingkar Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi juga memengaruhi.
Pasal 5 aturan tersebut menyebutkan dukungan diberikan pemerintah dan pemerintah daerah terkait untuk membangun pelintasan tidak sebidang. Akan tetapi, menurut Edi, perpres yang baru dijalankan sebagiannya ini membuat sejumlah pihak terkait saling menunggu untuk membangun sejumlah pelintasan tak sebidang.
Menunggu RITJ
Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang telah berkoordinasi untuk membuat Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ). Kepala BPTJ Elly A Sinaga pada 13 Maret lalu mengatakan, dalam RITJ yang akan disahkan dalam bentuk perpres tidak ada lagi pelintasan sebidang di Jabodetabek. "Semua pelintasan sebidang akan diubah menjadi jalan layang atau dibuat terowongan," ujarnya.