Oleh: Dian Dewi Purnamasari
"Otok... otok... otok.." Suara becak motor nyaring di pertigaan Pejompongan, Jakarta Pusat, Rabu (7/6/2017). Bemo yang sudah butut, bercat kusam, dan berkarat "mangkal" di sana. Berusia lebih dari 50 tahun, bemo-bemo itu setia mengantar anak sekolah, orang belanja ke pasar, hingga pekerja kantoran.
Setiap pagi, Sutino atau Kinong (58) mangkal dengan bemonya di kolong Karet Tengsin, Jakarta Pusat. Ia menunggu pelanggan orang-orang berkantor di Menara Batavia, Sahid Jaya, Citywalk, Le Meridien, Intiland, maupun Bank ANZ. Ia bekerja dua jam, pukul 06.30-08.30. Tugasnya hanya mengantar orang-orang kantor itu pada jam kerja. Rutenya Karet Tengsin-Sudirman.
Kinong jadi sopir bemo sejak tahun 1976, saat bemo berjaya, 1970-1990-an. Tahun 1980-an, sopir bemo jadi kebanggaan. Pesaingnya sedikit.
Rute Tanah Abang-Bendungan Hilir, misalnya, pesaingnya hanya bus kota PT SMS. Bukan hanya sopir, keluarga masa itu bangga berpiknik menumpang bemo. Orderan pun ramai. Kala itu, dalam sehari, Kinong bisa mengantongi Rp 4.000, saat harga emas Rp 2.000 per gram.
"Uang Rp 4.000 itu kalau dirupiahkan sekarang Rp 1 juta kali, ya? Banyak pokoknya," katanya.
Meskipun penghasilannya banyak, Kinong tidak mengelola uangnya dengan baik. Ia biasa mabuk-mabukan, berjudi, dan foya-foya. Tidak untuk ditabung.
Arief Adityawan, anggota komunitas pencinta bemo, dalam Aikon.org menuliskan, daerah operasi bemo tahun 1960-an adalah Menteng, mulai Pasar Boplo ke Latuharhary, Sarinah, SMA Kolese Kanisius, dan sekitarnya. Lalu, ketika izin operasi bemo di bilangan Menteng dicabut, banyak sopir bemo mengalihkan rute ke Pasar Bendungan Hilir.
Waktu berlalu. Tahun 2010, bemo terpuruk karena banyak pesaing. Apalagi, sejak 1996, bemo dilarang digunakan sebagai angkutan lingkungan. Rata-rata pemilik bemo sudah tak punya surat-surat kelengkapan seperti STNK. Sopir pun selalu kucing-kucingan dengan petugas dinas perhubungan.
Tersisih
Adolf Heuken, SJ dalam Atlas Sejarah Jakarta (Cipta Loka Caraka, 2014) menuliskan, bemo diimpor pertama dari Jepang menyambut Asian Games IV tahun 1962. Keberadaannya jadi kebanggaan masyarakat Jakarta.
Bemo ada atas pesanan khusus presiden pertama RI Soekarno. Bemo atau becak motor di antaranya menggantikan angkutan becak yang sesuai jiwa zamannya dinilai tidak memanusiakan manusia, penggenjot becak. Sejak itu, bemo turut mewarnai jalanan dan mobilitas keluarga Ibu Kota.
Bemo dipinggirkan sekitar tahun 1971. Pada masanya, bemo pernah melintasi jalur Pasar Tanah Abang. Jajang (50), sopir bemo yang 15 tahun beroperasi di Pejompongan, mengatakan, rute bemo di jalur Tanah Abang dihapus karena jalan kian macet. Akhirnya, sopir bemo memilih rute baru, Bendungan Hilir hingga sekitar Perusahaan Air Minum (PAM) DKI, lalu kawasan Karet-Sudirman hingga kolong Karet sebelum Pasar Tanah Abang.
Data Dinas Perhubungan DKI Jakarta, saat ini tersisa 213 bemo. Namun, yang masih beroperasi hanya 163, di antaranya beroperasi di Mangga Dua, Grogol, Olimo, Bendungan Hilir, Karet, Buaran, dan Manggarai.
Seiring pembatasan daerah operasi, pendapatan sopir menurun. Dalam sehari, paling tidak Kinong hanya mendapat Rp 160.000. Itu pun dengan catatan keluar dua kali sehari, pukul 06.30-08.30 dan 17.00-19.30.