JAKARTA, KOMPAS.com - Ada terobosan-terobosan dalam tatanan birokrasi di Jakarta pada periode pemerintahan 2012-2017. Contohnya adalah ketika mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mulai membentuk Pusat Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di setiap kantor pemerintahan.
Tujuannya adalah memotong rangkaian birokrasi yang harus dilalui masyarakat ketika mengurus surat-surat. Warga tak perlu lagi dilempar dari kantor dinas satu ke kantor dinas lain untuk mengurus sesuatu. Semua dilayani di satu pintu.
Dengan adanya PTSP, tugas lurah dan camat pun dievaluasi. Mereka tidak lagi mengurus surat yang dibutuhkan warga, melainkan fokus untuk menjadi "estate manager" di wilayah masing-masing. Ini membuat lurah dan camat semakin rajin ke lapangan untuk melihat permasalahan di wilayahnya.
Itu baru beberapa perubahan dalam birokrasi Jakarta. Siapa yang bakal lupa dengan tradisi Jumat keramat ala Ahok? Pada hari itu, Ahok kerap merombak pejabat DKI yang dia pikir tak becus bekerja.
Baca: Djarot dan Kebanggaan Jadi Bagian dari Jokowi-Ahok
Kebiasaan ini dilanjutkan oleh Djarot Saiful Hidayat sewaktu menjadi gubernur. Pada masa jabatannya yang hanya 3 bulan, Djarot sudah dua kali merombak pejabat.
Kebiasaan Ahok ini pernah menimbulkan kesan bahwa perubahan sikap PNS DKI hanya karena sosok pemimpinnya. Mereka takut distafkan oleh Ahok dan disebut bekerja di bawah tekanan.
Hal itu dibantah Djarot. Djarot berharap PNS DKI tetap menunjukan kinerja yang sama meski pemimpinnya bukan Ahok lagi, meski pemerintahannya berganti.
"Mudah-mudahan benar berubah ya karena yang kita ubah itu sistemnya," kata Djarot, ketika wawancara khusus dengan Kompas.com di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Senin (4/10/2017).
Tunjangan besar
Djarot mengatakan pelayanan PNS yang baik di Jakarta karena ada perubahan dalam sistem tunjangan. Semua tunjangan yang didapat oleh PNS tergantung dengan penilaian dalam key performance indicator (KPI) mereka. Semakin rajin bekerja, semakin besar tunjangannya. Take home pay yang diterima tiap bulan semakin besar.
"Maka dengan gaji yang tinggi, mereka jadi terpacu. Di Jakarta tidak bisa lagi sistem penggajiannya berdasarkan prinsip 'rajin malas sama saja' atau 'pintar goblok dapatnya sama'. Enggak bisa lagi," kata Djarot.
Baca: Djarot: Banyak Instansi Kejar WTP tetapi Lupa Substansi Pekerjaan
Bahkan PNS yang memiliki jabatan yang sama gajinya bisa berbeda. Gaji lurah bisa mencapai Rp 30 juta. Staf biasa bisa saja dapat di atas Rp 10 juta. Bahkan tukang sapu-sapu atau yang biasa disebut PPSU di Jakarta punya gaji standar UMR, tentunya dengan tambahan BPJS dan KJP bagi anak mereka.
Namun, jangan terlena. Tanggung jawabnya berbanding lurus dengan gajinya. Jika PNS tidak becus atau berani-berani korupsi, jangan harap bisa berlama-lama menduduki jabatannya.
Djarot mengatakan Pemprov DKI punya hak untuk menstafkan, merotasi, bahkan memecat PNS.
"Kalau dia enggak bagus, kita berhak mecat dong. Apalagi kalau dia main-main masalah duit. Hampir 1.000 ada (yang dipecat), tapi masalahnya banyak bukan karena korupsi doang," kata dia.
Kepuasan warga
Masalah perubahan birokrasi ini muaranya adalah kepuasan warga Jakarta. Djarot begitu bersyukur karena kepuasan warga terhadap pemerintah Jakarta begitu tinggi.
Pada pilkada kemarin, lembaga-lembaga survei merilis tingkat kepuasan warga Jakarta yang di atas 70 persen. Dia ingin tingkat kepuasan itu tetap dijaga pada pemerintahan selanjutnya.
"Persoalannya ke depan itu adalah bagaimana tingkat kepuasan warga dalam menerima layanan dari pemerintah," ujar Djarot.
Akhir masa jabatan sudah di depan mata. Sebentar lagi habis sudah masa pemerintahan Jokowi, Ahok, dan Djarot ini.
Tidak hanya mental birokrat yang Djarot harap terus menampilkan kineja prima. Mereka juga harus menjaga agar program-program yang ada bisa selesai sesuai waktunya. Semuanya, kata Djarot, demi kepuasan warga Jakarta.