JAKARTA, KOMPAS.com - Sulitnya pembebasan lahan merupakan salah satu masalah yang kerap dialami proyek pembangunan infrastruktur di Indonesia, Itu pula yang dialami proyek pembangunan mass rapid transit (MRT) di Jakarta.
Dalam proyek pembangunan jalur rel yang menghubungkan Lebak Bulus-Bundaran HI itu, masalah terletak pada sulitnya membebaskan lahan milik sebagian warga yang bermukim di Jalan Fatmawati, tepatnya di sekitar lokasi yang nantinya akan jadi Stasiun Haji Nawi dan Stasiun Cipete.
Sejak proyek MRT dimulai pada akhir 2013 hingga penghujung 2016, tercatat ada 132 bidang tanah di Jalan Fatmawati yang belum dibebaskan. Masih banyaknya bidang tanah yang belum dibebaskan itu sempat membuat PT MRT berniat membatalkan konstruksi stasiun di Jalan Haji Nawi dan Cipete.
Di Jalan Fatmawati, jalur rel MRT yang dibangun menggunakan konstruksi layang. Struktur jalan layang yang secara keseluruhan membentang dari Jalan Sisingamangaraja hingga Lebak Bulus lebih rumit daripada struktur jalur bawah tanah. Sebab jalur layang membutuhkan lebih banyak lahan warga untuk dibebaskan.
Baca juga : Toko di Jalan Fatmawati Banyak yang Tutup Selama Ada Proyek MRT
Pada sekitar September 2016, Gubernur DKI saat itu, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sempat mengumpulkan warga Fatmawati yang lahannya belum dibebaskan. Dalam pertemuan itu, Ahok melontarkan dugaan adanya upaya mempersulit warga oleh oknum di pemerintahan.
Caranya dengan meminta uang kompensasi dari warga yang sebenarnya sudah bersedia lahannya dibebaskan. Kompensasi yang diminta terkait Garis Sepadan Bangunan (GSB).
"Bapak-Ibu jangan takut untuk melapor. Silakan laporkan saja biar kami pecat nanti orangnya," ujar Ahok di hadapan warga yang datang ke Balai Kota, pada 14 September 2016.
Saat mengumpulkan warga, Ahok membagikan formulir. Di formulir itu warga diminta untuk mengisi apa yang membuat mereka keberatan lahannya dibebaskan untuk proyek MRT.
"Saya sengaja enggak ada tanya jawab. Karena kalau tanya jawab mereka pasti takut. Jadi sodorin aja formulir," kata Ahok saat itu.
Salah seorang yang hadir saat itu adalah Jaka. Saat berada di Balai Kota, Jaka yang datang untuk menangani lahan milik bosnya justru bingung karena nama bosnya tidak ada dalam daftar pemilik bidang yang harus dibebaskan.
"Dari pemerintahnya enggak jelas juga. Kami enggak pernah dikasih tahu kejelasan apakah lahan kami akan kena, kalau kena berapa, itu belum jelas sampai sekarang," kata Jaka pada 17 Oktober 2016.
Sebelum menghadiri pertemuan di Balai Kota, Jaka sudah dipanggil untuk sosialisasi pembebasan lahan di kelurahan dan Pemerintah Kota Jakarta Selatan. Jaka menyatakan bosnya tidak menolak lahannya dibeli untuk pembangunan. Hanya saja, ia berharap pembayaran dilakukan dengan adil. Sebab lahan itu menjadi tempat usaha dan mencari nafkah.
Lahan milik bos Jaka yang terkena dampak pembangunan MRT adalah Nivana Motor yang terletak di deretan persimpangan Jalan Haji Nawi.
"Sebagai pemilik lahan, paling tidak ingin tahu berapa jumlah lahan kami yang kena, berapa appraisal-nya, makanya sekarang kami tahan dulu pendataan karena belum jelas juga," kata Jaka.
Seiring berjalannya waktu, jumlah warga di Jalan Fatmawati keberatan dengan nilai ganti rugi berkurang. Tercatat hanya ada tujuh orang yang menolak untuk membebaskan lahan. Mereka meminta harga Rp 150 juta per meter. Mereka kemudian menggugat Pemprov DKI dan jajarannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.