JAKARTA, KOMPAS.com - Ahmad Sarip terlihat duduk santai di sebuah saung bercat hijau yang terletak di halaman Blok D Rumah Susun Marunda, Jakarta Utara, Senin (26/3/2018) siang.
Sarip adalah seorang penghuni Rusunawa Marunda yang juga bekerja sebagai pekerja harian lepas (PHL) di sana.
Sebagai PHL, ia mendapat tugas dari unit pengelola rumah susun (UPRS) Marunda untuk menggarap lahan pertanian di halaman Blok D.
Pekerjaannya adalah menanam berbagai tumbuhan di sana.
Mulai terong, tomat, hingga cabai terlihat menghiasi lahan seluas setengah hektar tersebut.
Baca juga: Dulu Bisa Raup Rp 15 Juta Per Bulan, Pertanian di Rusun Marunda Kini Lesu
Menggarap lahan seluas setengah hektar seharusnya bisa menambah pundi-pundi pemasukan Sarip dan rekan-rekan lain sesama PHL.
Apalagi, tumbuhan yang ditanam di sana tergolong laris di pasaran.
Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi Sarip dan rekan-rekannya.
Sebelum dijual di pasar, hasil panen mereka biasanya habis terjual kepada penghuni rusun dengan harga miring.
"Misalnya cabai di pasaran harganya dijual Rp 600.000 per kilogram. Nah, karena dijual ke penghuni rusun, paling saya cuma dapat (dijual) Rp 400.000 per kilogram," kata Sarip kepada Kompas.com.
Baca juga: Menengok Budi Daya Jamur di Timur Jakarta...
Tak jarang, pria yang sudah bekerja sebagai PHL Rusunawa Marunda sejak Oktober 2017 itu memberikan hasil panennya secara cuma-cuma.
"Kadang-kadang ada juga warga yang datang langsung minta petik (hasil panen) sendiri. Ya, namanya sama tetangga kita mau gimana," katanya.
Sarip memang tidak mau mengutamakan keuntungan ketika menggarap lahan pertanian tersebut.
Baca juga: Berkat Urban Farming, Warga Cempaka Putih Tinggal Petik Sayuran dan Buahan
Baginya, berbagi sesama penghuni rusun adalah prioritas.
"Tetangga ini, kan, saudara kita paling dekat. Kalau kami tolak, ya enggak enak, kan, setiap hari mereka lihat kami garap ini lahan. Akhirnya ya dikasih saja, toh saya juga masih ada gaji dari PHL, kan," ujar Sarip.
Berbagi
Pengalaman serupa juga dialami Ernov, petani di Blok A Rusunawa Marunda.
Ia menuturkan, hasil panennya selalu habis diborong penghuni sebelum dijual ke pasaran.
"Kami mah akhirnya jual di sini-sini saja, Mas. Ini tanam cabai dan bawang paling yang beli, ya, ibu-ibu di sekitar sini saja buat masak sehari-hari," kata Ernov.
Baca juga: Supermarket dan Hotel Mulai Lirik Hasil Urban Farming di Kelurahan Cempaka Putih Timur
Ia mengatakan, sulit bagi petani di Rusunawa Marunda untuk menjual hasil panennya ke pasar. Salah satu penyebabnya adalah jauhnya lokasi rusun dari pusat keramaian dan pasar.
Akibatnya, hasil panen mereka hanya dijual di lingkungan rusun.
"Yah hitung-hitung berbagi saja dengan sesama warga di sini," ujarnya.
Uang dari penjualan hasil panen Sarip dan Ernov biasanya hanya cukup untuk melakukan pembibitan ulang.
Baca juga: Urban Farming di Kelurahan Cempaka Putih Timur, Hasilnya Bikin Adem Ayem
Oleh sebab itu, kegiatan bertani hanya menjadi pekerjaan sampingan untuk keduanya.
Rusunawa Marunda sebelumnya menjadi salah satu rusun yang dikenal dengan kegiatan pertanian.
Pada 2014, Kelompok Tani Rusun Marunda diklaim mampu meraup keuntungan sebesar hingga belasan juta rupiah per bulan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.