JAKARTA, KOMPAS.com – Kopi Tuli. Ditilik dari namanya, penggalan kata “tuli” di dalamnya menyiratkan bahwa kedai kopi satu ini punya kaitan dengan tunarungu.
Memang demikian adanya. Kedai Kopi Tuli atau disingkat Koptul memang dijalankan oleh teman-teman tuli, mulai dari kasir sampai baristanya. Tak berhenti sampai di sana, Koptul yang lahir pada 12 Mei 2018 ini pun didirikan oleh tiga orang anak muda tunarungu.
Putri Sampaghita Trisnawinny Santoso (28) ialah salah satu pendirinya. Putri dan dua rekan lain, Adhika Prakoso dan Erwin Syah Putra, memang sengaja menjadikan keterbatasan mereka sebagai identitas bisnis yang mereka besarkan.
Baca juga: Cerita Para Relawan Memopulerkan Bisindo, Bahasa Isyarat untuk Teman Tuli
Bisnis kedai kopi yang tengah menjamur belakangan ini di kota-kota besar coba dimanfaatkan Putri, Adhika, dan Erwin buat menyelipkan agenda-agenda perjuangan kesetaraan bagi teman-teman disabilitas, setidaknya untuk para penggemar kopi.
“Yang senang kopi, orang yang suka ngobrol, senang literasi. Kopi adalah media komunikasi, sementara tujuan Koptul berdiri adalah menjembatani teman dengar dengan teman tuli melalui komunikasi bahasa isyarat,” ucap Putri ketika ditemui Kompas.com di Koptul cabang Duren Tiga, Selasa (7/5/2019), soal alasannya memilih bisnis kedai kopi.
Kasir hingga barista tuli
Untuk memesan kopi, pengunjung mau tak mau memang harus berinteraksi dengan staf kedai yang seluruhnya tuli. Pengunjung tak perlu risau, sebab mereka terbiasa membaca gerak bibir lawan bicara dan sanggup menanggapi secara lisan juga.
Baca juga: Desa Bengkala di Bali, Tempat Ternyaman bagi Mereka yang Tuli..
Namun, guna menekan potensi miskomunikasi, Putri dan kolega telah menyiasatinya dengan membubuhkan bahasa isyarat di setiap menu.
“Kesulitan pasti ada. Misalkan, teman tuli akan kesulitan memahami keinginan pengunjung kalau pengunjung bicaranya terlalu cepat, karena teman tuli membaca dari bibir,” jelas perempuan yang akrab dipanggil Thie ini.
Mulai dari memesan kopi, hingga membayar di kasir, pengunjung akan berinteraksi dengan teman-teman tuli.
“Biar ada penasaran, apa sih itu ‘kopi awan’ atau ‘daun susu’, kenapa enggak tulis ‘greentea’ saja? Biar ada pertanyaan, interaksi. Karena memang itu tujuan Koptul, menjembatani teman dengar dengan teman tuli,” katanya.
Baca juga: Anies Janji Libatkan Komunitas Tuli untuk Buat Kebijakan
Keunikan lainnya terdapat pada kemasan gelas Koptul yang tertera bahasa isyarat. Pengunjung bisa langsung mempelajari dasar bahasa isyarat.
Para staf kedai juga akan dengan senang hati duduk bersama di meja dan mengajari langsung para pengunjung yang ingin belajar bahasa isyarat. Di Koptul, pengunjung dan staf kedai memang melebur jadi teman dengar dengan teman tuli. Keduanya direkatkan oleh kedekatan emosional.
Saling berinteraksi tanpa wi-fi
Kedekatan ini pun didukung dengan tiadanya sinyal wi-fi di Koptul. Padahal, di banyak tempat, wi-fi seakan menjelma fasilitas yang wajib disediakan kedai kopi.
“Kenapa di sini kita enggak kasih wi-fi? Supaya ada interaksi, mereka ngobrol, bukan sibuk masing-masing,” kata Terry, suami Putri yang berperan sebagai penerjemah dalam wawancara Jumat sore.
“Biasanya nanti teman dengar dihampiri buat belajar bahasa isyarat sama teman tuli. Memang hanya teman tuli juga yang harus mengajari, karena bahasa isyarat ini punya mereka,” imbuhnya.
Perjuangkan kesetaraan bagi teman tuli
Putri mengaku jika bisnis yang ia jalani kental dimensi sosial. Ia yang telah merasakan pahitnya diabaikan perusahaan ketika melamar kerja akibat keterbatasan fisiknya, ingin memperjuangkan kesetaraan bagi kalangan disabilitas.
Interaksi yang terbangun di Koptul antara pengunjung dan pegawai jadi pintu masuk pertama, karena di sinilah kesetaraan pandangan bermula.
Selain didorong mengenal dunia tuli, para pengunjung juga akan menyadari jika teman tuli sanggup berkarya pula.
Nantinya, Putri yang juga terlibat dalam Yayasan Sampaguita berencana membuka lebih banyak cabang Koptul demi memberikan akses pekerjaan yang sulit didapatkan oleh teman-teman tuli.
Hingga saat ini, Koptul sudah buka di dua tempat. Satu di Krukut, Depok, yang menandai lahirnya Koptul, satu lagi di Duren Tiga, Jakarta Selatan yang dibuka lima bulan usai Koptul memulai debutnya.
“Yang teman tuli butuhkan hanya akses. Teman tuli harus bisa mandiri. Makanya di Koptul kasirnya satu, tidak didampingi teman dengar seperti di tempat lain. Teman tuli harus mandiri,” tukas Putri berapi-api, seakan hendak menyampaikan bahwa nikmat kopi memang tak ada urusanya dengan telinga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.